Syaikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad atau yang biasa di
panggil Abah Sepuh, lahir tahun 1836 di kampung Cicalung Kecamatan Tarikolot
Kabupaten Sumedang (sekarang, Kp Cicalung Desa Tanjungsari Kecamatan
Pagerageung Kabupaten Tasikmalaya) dari pasangan Rd Nura Pradja (Eyang Upas,
yang kemudian bernama Nur Muhammad) dengan Ibu Emah. Beliau dibesarkan oleh
uwaknya yang dikenal sebagai Kyai Jangkung. Sejak kecil, beliau sudah gemar mengaji/mesantren
dan membantu orang tua dan keluarga, serta suka memperhatikan kesejahteraan
masyarakat. Setelah menyelesaikan pendidikan agama dalam bidang akidah,
fiqih, dan lain-lain di tempat orang tuanya. Di Pesantren Sukamiskin
Bandung beliau mendalami fiqih, nahwu, dan sorof. Beliau
kemudian mendarmabaktikan ilmunya di tengah-tengah masyarakat dengan mendirikan
pengajian di daerahnya dan mendirikan pengajian di daerah Tundagan Tasikmalaya.
Beliau kemudian menunaikan ibadah Haji yang pertama. Walaupun Syaikh Abdullah
Mubarok telah menjadi pimpinan dan mengasuh sebuah pengajian pada tahun 1890 di
Tundagan Tasikmalaya, beliau masih terus belajar dan mendalami ilmu Thariqah
Qadiriyah Naqsabandiyah kepada Mama Guru Agung Syaikh Tolhah bin Talabudin
di daerah Trusmi dan Kalisapu Cirebon. Setelah sekian lamanya pulang-pergi
antara Tasikmalaya-Cirebon untuk memperdalam ilmu tarekat, akhirnya beliau
memperoleh kepercayaan dan diangkat menjadi Wakil Talqin. Sekitar tahun 1908
dalam usia 72 tahun, beliau diangkat secara resmi (khirqoh) sebagai guru dan
pemimpin pengamalan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah oleh Syaikh Tolhah.
Beliau juga memperoleh bimbingan ilmu tarekat dan (bertabaruk) kepada Syaikh
Kholil Bangkalan Madura dan bahkan memperoleh ijazah khusus Shalawat Bani
Hasyim.
Karena situasi dan kondisi di daerah Tundagan kurang
menguntungkan dalam penyebaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah, beliau
beserta keluarga pindah ke Rancameong Gedebage dan tinggal di rumah H. Tirta
untuk sementara. Selanjutnya beliau pindah ke Kampung Cisero (sekarang Cisirna)
jarak 2,5 km dari Dusun Godebag dan tinggal di rumah ayahnya. Pada tahun 1904
dari Cisero Abah Sepuh beserta keluarganya pindah ke Dusun Godebag.
Syaikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad kemudian dan
bermukim dan memimpin Pondok Pesantren Suryalaya sampai akhir hayatnya. Beliau
memperoleh gelar Syaikh Mursyid. Dalam perjalanan sejarahnya, pada tahun
1950, Abah Sepuh hijrah dan bermukim di Gg Jaksa No 13 Bandung. Sekembalinya
dari Bandung, beliau bermukim di rumah H Sobari Jl Cihideung No 39 Tasikmlaya
dari tahun 1950-1956 sampai beliau wafat. Setelah menjalani masa yang cukup
panjang, Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad-sebagai Guru MursyidThariqah
Qadiriyah Naqsabandiyah dengan segala keberhasilan yang dicapainya melalui
perjuangan yang tidak ringan, dipanggil Al Khaliq kembali ke Rahmatullah
pada tangal 25 Januari 1956, dalam usia 120 tahun. Beliau meniggalkan sebuah
lembaga Pondok Pesantren Suryalaya yang sangat berharga bagi pembinaan umat
manusia, agar senantiasa dapat melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi
segala larangan-Nya serta mewariskan sebuah wasiat berupa “TANBIH”
yang sampai saat sekarang dijadikan pedoman bagi seluruh Ikhwan Thariqah
Qadiriyah Naqsabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya dalam hidup dan
kehidupannya.
Syekh
Ahmad al-Tijani (1150-1230 H, 1737-1815 M) dikenal di dunia Islam melalui
ajaran thariqat yang dikembangkannya yakni Thariqat Tijaniyah. Untuk mengetahui
kehidupan Syekh Ahmad al-Tijani, Penulis menelusurinya melalui Kitab-kitab yang
memuat kehidupan dan ajaran Syekh Ahmad al-Tijani terutama kitab-kitab yang di
tulis Khalifah Syekh Ahmad al-Tijani diantaranya kitab Jawahir al-Ma`ani
(Mutiara-mutiara Ilmu). tulisan Syekh Ali Harazim.
Dalam kitab-kitab yang menulis kehidupan Syekh Ahmad al-Tijani, disepakati
bahwa Syekh Ahmad al-Tijani, dilahirkan pada tahun 1150 H. (1737 M.) di `Ain
Madi, sebuah desa di Al-jazair. Mengenai tanggal kelahirannya sampai sekarang
belum diketahui secara pasti. Secara geneologis Syekh Ahmad al-Tijani memiliki
nasab sampai kepada Rasulullah saw. lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Ibn
Muhammad Ibn Mukhtar Ibn Ahmab Ibn Muhammad Ibn Salam Ibn Abi al-Id Ibn Salim
Ibn Ahmad al-`Alawi Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Abbas Ibn Abd Jabbar Ibn Idris Ibn
Ishak Ibn Zainal Abidin Ibn Ahmad Ibn Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah Ibn Abdullah
al-Kamil Ibn Hasan al-Musana Ibn Hasan al-Sibti Ibn Ali Ibn Abi Thalib, dari
Sayyidah Fatimah al-Zahra putri Rasuluullah saw.
Nama
al-Tijani diambil dari suku Tijanah yaitu suatu suku yang hidup di sekitar
Tilimsan, Aljazair; dari pihak ibu, dan Syekh Ahmad al-Tijani berasal dari suku
tersebut. Keluarga Syekh Ahmad Al-Tijani adalah keluarga yang dibentuk dengan
tradisi taat beragama. Dikatakan, bahwa ayah Syekh Ahmad al-Tijani adalah
seorang ulama yang disiplin menjalankan ajaran agama. Ketika Syekh Ahmad
al-Tijani memasuki usia balig dinikahkan oleh ayahnya. Sejak usia berapa tahun
beliau menikah? Dalam kitab-kitab yang menulis riwayat hidup Syekh Ahmad
al-Tijani tidak dijelaskan. Namun apabila dihubungkan dengan tahun meninggal
kedua orang tuanya, mereka meninggal berturut-turut pada tahun yang sama yakni
tahun 1166 H. Diduga beliau nikah antara usia 15-16 tahun, sebab beliau lahir
pada tahun 1150 H. Dari hasil pernikahannya beliau mempunyai dua orang putra
yakni Muhammad al-Habib dan Muhammad al-Kabir yang kelak secara berturut-turut
memimpin zawiyah (pesantren Sufi yang beliau dirikan). Mengenai tempat
meninggalnya, dalam kitab-kitab yang menulis Syekh Ahmad al-Tijani, disepakati
bahwa beliau wafat di kota Fez Maroko. Hal ini bisa dimengerti karena
sebagaimana akan dilihat nanti, di kota ini Syekh Ahmad al-Tijani mempunyai
kesempatan untuk mengembangkan ajarannya dengan dukungan penguasa. Dengan
demikian tidak ada alasan bagi beliau untuk meninggalkan Maroko. Sebagaimana
tempat wafatnya, tahun wafatnya pun disepakati, yakni beliau wafat pada tahun
1230 H., dengan demikian beliau wafat dalam usia 80 tahun, karena beliau lahir
pada tahun 1150 H. Demikian juga mengenai hari dan tanggal wafatnya, disepakati
bahwa beliau wafat pada hari Kamis, tanggal 17 Syawal dan dimakamkan di kota
Fez Maroko.
Landasan dan Rumusan tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani
Dasar-dasar
tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani di bangun di atas landasan dua corak tasawuf,
yakni tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Dengan kata lain, Syekh Ahmad
al-Tijani menggabungkan dua corak tasawuf, dimaksud dalam ajaran thariqatnya.
Pengkajian menyangkut tasawuf falsafi, bukan sesuatu hal yang sederhana, sebab
pengkajian ini sudah masuk dalam wilayah pemikiran; dan kaum thariqat, terlebih
ummat Islam pada umumnya yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk memasuki
wilayah ini sangat terbatas. Keterbatasn ini, ditunjukan dalam sejarah
pekembangan pemikiran Islam khusunya bidang tasawuf, banyak ummat Islam,
menilai, bahwa tasawuf falsafi dianggap sebagai pemikiran yang menyimpang dari
ajaran syari’at Islam. Dasar-dasar tasawuf falsafi yang dikembangkan Syekh
Ahmad at-Tijani adalah tentang maqam Nabi Muhammad saw., sebagai al-Haqiqat
al-Muhammadiyyah dan rumusan wali Khatam. Dua hal ini telah dibahas oleh
sufi-sufi filusuf, seperti al-Jilli, ibn al-Farid dan ibn Arabi. Tentang
pemikiran sufi-sufi ini, Syekh Ahmad al-Tijani mengembangkan dalam amalan
shalawat wirid thariqatnya, yakni : shalawat fatih dan shalawat jauhrat
al-Kamal. Konsep dasar haqiqat al-Muhammadiyyah ini disamping kontroversial, ia
juga complicated. Atas dasar ini, tidaklah mengherankan apabila Syekh Ahmad
al-Tijani memberikan “aba-aba” kepada setiap orang, termasuk muridnya yang
ingin memasuki secara lebih jauh tentang diri dan thariqatnya. Untuk itu Syekh
Ahmad al-Tijani menegaskan
“Apabila kamu mendengar apa saja dariku, maka
timbanglah ia dengan neraca (mizan) syari’at. Apabila ia cocok, kerjakanlah dan
apabila menyalahinya, maka tinggalkanlah”Menurut KH. Fauzan, penegasan Syekh
Ahmad al-Tijani ini merupakan pertanggung jawaban yang terbuka, lapang dada dan
menyeluruh terhadap ajaran yang dikembangkannya, Sedangkan KH. Badruzzaman
melihat bahwa penegasan Syekh Ahmad al-Tijani tadi menunjukan pertaggung
jawabannya bahwa segala sesuatu yang diungkapkannya mempunyai dasar-dasar
syari’at. Hemat penulis, penegasan Syekh Ahmad al-Tijani di atas dilatar
belakangi dua hal : Pertama; Ia sendiri menyadari banyak ungkapan-ungkapan
pengalaman spiritual dan fatwanya, akan sulit dijangkau oleh pemahaman
masyarakat umum. Untuk itu, beliau menekankan untuk senantiasa mengembalikan
kepada tatanan dasar syair’at. Dengan kata lain, secara terbuka dan tegas ia
mengharuskan setiap orang yang akan meneliti ajarannya untuk senantiasa
terlebih dahulu memahami petunjuk-petunjuk al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad
saw., secara menyeluruh dan mendalam. Kedua; Penegasan tersebut, dikarenakan
“kekhawatirannya”, akan terjadi salah atau kurang tepat dalam memahami
pengalaman spiritual dan fatwanya-fatwanya, sehingga tidak sesuai atau salah
alamat dari apa yang dimaksudkan oleh dirinya. Kekhawatiran ini, didasarkan atas
upaya penggabungan dua corak tasawuf yang dirumuskan dalam bentuk bacaan
thariqatnya sebagai mana telah disebutkan. Sejak abad ke- Hijri, ajaran tasawuf
terpisah menjadi dua corak yakni tasawuf amali dan tasawuf falsafi yang dalam
sejarah perkembangannya masing-masing mempunyai metode tersendiri. Sebagai wali
yang mengaku memperoleh maqam wali khatm, al-Quthb al-Maktum, ia menyatukan
kembali dan atau mengutuhkan kembali dua corak tasawuf tersebut. Hemat penulis,
disinilah keunggulan Syekh Ahmad al-Tijani. Dan diduga peran inilah yang
dimaksud dengan ungkapannya : “Dua kakiku ini di atas tengkuk semua Waly Allah
Swt.”
Agaknya, hal tersebut di atas, sangat diantisipasi oleh KH. Badruzzaman, ia
menegaskan, bahwa dalam melihat dan memahami fatwa-fatwa Syekh Ahmad al-Tijani,
senantiasa harus melihatnya melalui petunjuk al-Qur’an dan sunnah secara
menyeluruh dan mendalam, lahiriyah dan batiniyah. Penegasan KH. Badruzzaman
ini, didasarkan atas pengalaman dirinya dalam menganalisis Syekh Ahmad
al-Tijani dan Thariqatnya; dimana sebelum merintis pengembangan ajaran thariqat
tijaniyah, ia adalah “penentang yang gigih” terhadap thariqat ini. Landasan
tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani, sebagai mana telah dijelaskan membangun rumusan
tasawufnya. Ada dua rumusan tasawuf yang dikemukakannya.
:
a. Tentang definisi tasawuf; menurut Syekh Ahmad al-Tijani, tasawuf adalah :
“Patuh mengamalkan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, baik lahir maupun
batin, sesuai dengan ridha-Nya bukan sesuai dengan ridha’mu”. Melalui rumusan
definisi di atas, Syekh Ahmad al-Tijani ingin menunjukan bahwa pada dasarnya,
ajaran tasawuf merupakan pengamalan syari’at Islam secara utuh, sebagai sarana
menuju Tuhan dan menyatu dalam kehendak-Nya. Keterpaduan dalam tasawuf yang
diajarkan Syekh Ahmad al-Tijani antara amaliah lahir dan amaliah batin, adalah
sebagai wujud pengamalan syari’at Islam secara keseluruhan. Sebab pada bagian
lain ia menyatakan bahwa ilmu tasawuf adalah : “Ilmu yang terpaut dalam qalbu
para wali yang bercahaya karena mengamalkan al-Qur’an dan sunnah.
Sejalan dengan pendapat ini, al-Tusturi (w. 456 H.) mengatakan bahwa ilmu
tasawuf dibangun melalui kekuatan keterikatan terhadap Qur’an dan Sunnah.
Sebagai wujud keterikatan Syekh Ahmad Al-Tijani dan thariqatnya terhadap
syari’at, ia mengatakan bahwa syarat utama bagi orang yang mau mengikuti
ajarannya adalah memelihara shalat lima waktu dan segala urusan syari’at. Dalam
mengomentari landasan tasawuf yang diajarkan Syekh Ahmad al-Tijani, Muhammad
al-Hapidz dalam ahzab wa awrad, mengatakan: “Landasan pokok Thariqat Tijaniyah
yang menjadi asas penopangnya adalah menjaga syari’at yang mulia, baik ilmiyah
maupun alamiyah”Sedangkan KH. Badruzzaman, mengatakan bahwa landasan pokok
Thariqat tijaniyah adalah memelihara syari’at yang mulia baik yang berhubungan
dengan amaliah kalbu seperti khusyu (khusyuk), ikhlas (ikhlas) dan tawadha
(rendah hati).
b. Tentang penegasan ajaran tasawufnya Sebagai wujud penekanan keterikatan
ajarannya terhadap syari’at, Syekh al-Tijani menegaskan bahwa patokan utama
pengembangan ajarannya adalah al-Qur’an dan sunnah. Lebih tegas ia menyatakan :
“Kami hanya mempunyai satu pedoman (Kaidah) sebagai sumber semua pokok persoalan
(ushul), bahwasanya tidak ada hukum kecuali kepunyaan Allah dan Rasul-Nya,
tidak ada ibarat dalam hukum kecuali firman Allah swt., dan sabda Rasul-Nya.
Penekanan Syekh Ahmad al-Tijani ini, dimaksudkan untuk menegaskan keterikatan
ajarannya terhadap syari’at (al-Qur’an dan sunnah). Syeikh Ahmad bin Muhammad
Al-Hasani lahir pada Hari Kamis, 13 Shafar 1150 H. di Ain Madhi atau disebut
juga dengan Madhawi, di Sahara Timur Maroko. Dari keluarga besar/Kabilah Tijan.
Kabilah ini banyak melahirkan ulama-ulama dan wali-wali yang shaleh. Dari garis
ayah adalah Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin Ahmad bin Muhammad Salim bin Al
‘id bin Salim bin Ahmad Al-‘Alwani bin Ahmad bin Ali bin Abdulloh bin Al-Abbas
bin Abdul Jabbar bin Idris bin Ishaq bin Ali Zainal Abidin bin Ahmad bin
Muhammad An-Nafsiz Zakiyah bin Abdulloh bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan
As-Sibthi bin Ali bin Abi Tholib dan Sayyidah Fatimatuzzahra binti Rasulullah
Muhammad SAW. Dari garis ibu adalah Ahmad binti Sayyidah Aisyah binti Abu
Abdillah Muhammad bin As-Sanusi At-Tijani Al-Madhawi. Keabsahan silsilah ini
berdasarkan beberapa keterangan garis keturunannya secara turun temurun. Juga
dinyatakan langsung oleh Rasululloh SAW: “Engkau benar-benar anakku (Anta
waladi haqqan). Nasabmu melalui Hasan bin Ali adalah shahih.” Kedua orang
tuanya mengasuh dengan didikan beberapa etika sunah, rahasia syari’at dan
cahaya kebenaran. Sehingga masa kecilnya sangat terjaga. Beliau pun tumbuh
dalam kebesaran akhlak muhammadiyah. Pada umur 7 tahun telah hafal Alqur’an
dalam qira’at Imam Nafi’ dengan baik di bawah bimbingan gurunya, Sayid Muhammad
bin Hamawi At-Tijani. Seorang guru yang alim dan terkenal keshalehan serta
kewaliannya. Al-Hamawi terkenal sebagai pendidik anak-anak di Ain Madhi.
Diceritakan bahwa Sayid Muhammad bin Hamawi mimpi bertemu Allah SWT dan membaca
Alqur’an dalam Qira’at Imam Warasy sehingga khatam. Allah SWT berfirman
kepadanya: “Demikianlah Alqur’an diturunkan.” Beliau meninggal pada tahun 1162
H. Pendidikannya dilanjutkan dengan mempelajari beberapa ilmu yang bermanfaat.
Seperti: Ilmu Usul, Furu’ dan Adab. Orang tua Syeikh Ahmad sangat mempercayakan
pendidikan masa kecil Syeikh kepada Al-Hamawi. Syeikh banyak mempelajari cabang
ilmu dari Al-Hamawi. Dengan kecerdasannya Beliau cepat menguasai beberapa ilmu
dengansempurna.
Di
samping Al-Hamawi, Syeikh Ahmad menyelesaikan Al-Mukhtasor karya Imam Kholil,
Ar-Risalah karya Ibnu Rusyd dan Al-Muqaddimah karya Imam al-Akhdhari dari
gurunya yang lain, Sayid Al-Mabruk bin Bu Afiyah At-Tijani. Tahun 1166 H. kedua
orang tuanya meninggal pada hari yang bersamaan, karena penyakit tho-un/lepra
yang mewabah. Yaitu ketika Syeikh Ahmad berumur 16 tahun. Dalam usia yang
relatif muda, Syeikh telah menunjukkan kelebihannya dan keluasan ilmunya. Dunia
ilmu pendididikan terus dijalaninya. Sejak kedua orang tuanya meninggal, Syeikh
tetap aktif dalam membaca ilmu, mengajar, menulis dan memberi fatwa. Pada tahun
1171 Syeikh mulai memasuki dunia sufi. Dalam salah satu fatwanya Syeikh Ahmad
bin Muhammad At-Tijani berkata: “Dalam nash syara’ hanya diterangkan kewajiban
tiap orang untuk memenuhi beberapa hak Alloh secara penuh, lahir dan batin.
Tanpa adanya alasan apa pun. Tidak ada alasan apa pun untuknya dari hawa nafsu
dan kelemahannya. Dalam syara’ hanya mewajibkan hal tersebut dan mengharamkan
lainnya. Karena adanya siksa. Tidak ada kewajiban mencari guru selain guru
ta’lim yang mengajarkan tata cara perkara syara’ yang dituntut untuk
dilaksanakan seorang hamba. Baik berupa perintah yang harus dikerjakan dan
larangan yang harus ditinggalkan. Tiap orang bodoh harus mencari guru ini.
Tidak ada keluasan atau alasan meninggalkannya. Ada pun guru-guru lainnya
setelah guru ta’lim tidak ada kewajiban mencarinya menurut syara’. Akan tetapi
wajib mencarinya dari sisi nadhar. Seperti halnya orang yang sakit dan
kehilangan kesehatannya. Apabila dia keluar untuk mencari kesembuhannya, maka
mencarinya adalah wajib. Kami katakan wajib mencari dokter yang ahli dalam
mendiagnosa penyakit, asalnya, obatnya, cara memperolehnya.
Jawaban Syeikh ini memberikan kejelasan dalam masalah pencarian guru. Karena
sebagian ulama telah mengatakan bahwa meninggalkan pencarian terhadap guru
tarbiyah dianggap maksiat.
Dari
sini dapat diketahui bahwa masuknya Syeikh dalam dunia sufi tidak dikarenakan
mengikuti kebanyakan manusia yang dilakukan zaman sekarang. Mereka memasuki
sebuah jalan tujuan, tanpa adanya pertimbangan berdasarkan pengetahuan tentang
sesuatu yang sedang mereka masuki. Mereka memasuki jalan tidak lebih karena
anggapan sebagian orang yang menilainya dengan keindahan luarnya belaka. Syeikh
memasuki dunia sufi berdasarkan pemikiran dan pengetahuan pada sesuatu yang
dikehendakinya dan memantapkannya. Sebagai bukti seorang murid (pencari
kebenaran) yang shadiq. Murid yang mengetahui keagungan Rububiyah dan hak-hak
Ilahiyah. Mengetahui bagian yang ada dalam dirinya, berupa kelemahan,
kemalasan, menyukai kenikmatan, dan meninggalkan amal shaleh. Di mana jika
keadaan itu terus ada dalam dirinya akan menyebabkannya tidak dapat memperoleh
puncak tujuan dunia-akhirat. Itu pun dilakukan setelah menguasai cabanng-cabang
ilmu. Pengetahuannya membawa dirinya untuk segera kembali dengan tekad,
semangat dan kemantapan; mencari seorang yang dapat membuka belenggu syahwatnya
dan menunjukkannya kepada jalan untuk sampai ke hadapan Robnya.Syeikh Ahmad bin
Muhammad At-Tijani berkata: “Ini adalah ciri murid shadiq (pencari kebenaran
sejati). Adapun lainnya hanya murid thalib atau pencari biasa. Terkadang dia
dapat mendapatkan hasil. Terkadang tidak mendapatkan apa-apa.” Oleh karenanya
sebagian ulama mengatakan bahwa setiap orang yang awalnya kokoh, maka akhirnya
akan sempurna.
Menginjak usia 21 tahun Syeikh melakukan berbagai kunjungan ke beberapa daerah
di Fas. Melakukan banyak diskusi dengan beberapa ahli kebaikan, agama,
rehabilitasi jiwa, dan penemu kebahagian hakiki. Lawatan itu mengantarkannya ke
Gunung Zabib dan bertemu dengan seorang wali kasyaf yang memberikan isyarat
agar kembali ke negeri atau daerahnya, yaitu Ain Madhi. Wali tersebut
memeberitahukan akhir kedudukan yang akan dicapainya. Tanpa harus menetap di
daerah lain. Kemudian Syeikh segera kembali ke daerahya. Orang yang paling
banyak mewarnai corak kehidupan Syeikh adalah Sayid Abdul Qadir bin Muhammad.
Seorang kutub yang tinggal di ‘negeri putih’ (Baladul Abyadh) Shahara Dzar.
Daerah ini agaknya tidak jauh di Ain Madhi. Karena di sela-sela pengabdiannya,
Syeikh sering pulang ke rumahnya. Syeikh menetap di Zawiyahnya 5 tahun untuk
menuntut ilmu, mengajar dan beribadah. Selanjutnya Syeikh tetap tinggal di Ain
Madhi sesuai dengan petunjuk wali kasyaf di Gunung Zabib.
Di antara beberapa guru yang ditemui Syeikh dalam perjalanan ke Fas dan
sekitarnya adalah wali kutub yang terkenal, Maulana Ahmad As-Shaqali
Al-Idrisiyah, salah seorang ternama dalam Thariqat Khalwatiyah di Fas. Dalam
pertemuannya ini As-shaqali tidak banyak melakukan pembahasan. Syeikh pun tidak
mengambil apa pun darinya. Kemudian Syeikh bertemu dengan Sayid Muhammad bin
Hasan Al-Wanjali. Salah seorang wali kasyf di sekitar Gunung Zabib. Ketika bertemu,
sebelum mengucapkan apa pun, Al-Wanjali berkata kepada Syeikh Ahmad Attijani:
“Dirimu pasti akan menemukan kedudukan al-quthbul kabir Maulana Abil Hasan.”
Agaknya Al-Wanjali merupakan salah seorang tokoh dari Thariqat Syadziliyah.
Karena isyarat yang diberikan olehnya menunjukkan bahwa Syeikh akan mencapai
kedudukan Abil Hasan Asy-Syadzili. Menurut Al-Wanjali perjalanan yang telah
ditempuh oleh Syeikh dari daerahnya (Ain Madhi) sampai ke Fas Al-Idrisiyah dan
beberapa daerah Maghribi lainnya untuk mencari seseorang yang dapat
mengantarkannya kepada Makrifat Billah adalah bukti kehendaknya untuk mencapai
keinginan tersebut. Al-Wanjali banyak menyingkap rahasia yang tersimpan dalam
diri Syeikh dan memberitahukan kedudukan yang akan diperolehnya. Meskipun tidak
mengambil wirid dari Al-Wanjali, akan tetapi penyingkapan yang telah
disampaikannya memiliki andil dalam memperkuat cita-cita Syeikh. Sehingga
akhirnya semua itu menjadi kenyataan. Al-Wanjali meninggal sekitar tahun 1185
H.
Wali
Kutub lain yang ditemui Syeikh adalah Maulana At-Thayib bin Muhammad bin
Abdillah bin Ibrahim Al-Yamlahi. Sejarah hidup keluarganya sangat terkenal dan
banyak ditulis oleh para pengikutnya sebagai orang besar di Fas. Legenda
keluarganya secara beberapa generasi telah memperoleh kedudukan kutub. Maulana
At-Thayib mewarisi kekhilafahan para pendahulunya dalam memberikan petunjuk
kepada manusia di jalan Alloh dan kesempurnaan makrifatnya. Ia menjadi khalifah
menggantikan saudaranya Maulana At-Tihami yang menggantikan Sayid Muhammad yang
menggantikan Maulana Abdulloh. Diceritakan bahwa Maulana Abdulloh (w. th. 1089
H.), kakek At-Thayib adalah orang pertama yang menetap di Wazin. Agaknya
keluarga At-Thayib secara turun-temurun memegang Thariqat Jazuliyah. Hal ini
terbukti bahwa kakeknya telah berkhidmah kepada Ahmad bin Ali Ash-Sharsori,
salah seorang tokoh Thariqat Jazuliyah. Ciri pokok tarekat ini adalah dengan
memperbanyak shalawat. Ayah At-Thoyib, Sayid Muhammad yang juga mencapai
kedudukan kutub mengatakan: “Seseorang tidak akan memperoleh derajat tertinggi,
melainkan dengan banyak membaca shalawat kepada Nabi SAW.” Sayid Muhammad
meninggal pada Malam Jum’at, tanggal 29 Muharam 1120 H.
Dalam
pertemuannya dengan Ath-Thayib Syeikh mengambil wirid darinya. Bahkan dalam
ijazahnya, At-Thayib telah memberikan izin kepada Syeikh untuk memberikan
talkin pada orang yang hendak mengambil wiridnya. Akan tetapi Syeikh menolak
hak talkin tersebut karena pada saat itu masih mempunyai cita-cita sendiri dan
belum berminat untuk memegang salah satu jenisnya. Di sini Syeikh menunjukkan
ketinggian cita-citanya berdasarkan asal fitrahnya. Di samping itu Syeikh belum
mengetahui akhir kedudukannya pada waktu tersebut. At-Thayib adalah salah satu
guru yang diakui oleh Syeikh pada awal perjalannya. Beliau wafat pada Hari
Ahad, Bulan Rabiuts Tsani, tahun 1181 H. Selanjutnya, Syeikh bertemu dengan
Sayid Abdulloh bin Al-Arabi bin Ahmad bin Muhammad bin Abdulloh Al-Andalusi di
Fas. Thariqatnya bercorak Isyrak (konsep cahaya). Pertemuan ini banyak
memperbincangkan beberapa masalah. Meskipun tidak mengambil sesuatu darinya,
Al-Arabi memberikan doa yang sangat berarti dalam perjalanan Syeikh
selanjutnya. Al-Arabi mendoakan kebaikan dunia dan akhirat dan pada akhir
perjumpaannya berkata: “Alloh akan menuntun tanganmu (menolongmu). “Alloh akan
menuntun tanganmu (menolongmu). “Alloh akan menuntun tanganmu(menolongmu).”
Al-Arabi wafat pada tahun 1188 H. Syeikh juga pernah mengambil Thariqat
Qadiriyahnya Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani di Fas dari seseorang yang mempunyai
izin untuk mentalkinkannya. Hanya saja kemudian ditinggalkan. Thariqat lainnya
yang pernah diambil oleh Syeikh adalah Thariqat Nashiriyah dari Sayid Abu
Abdillah Muhammad bin Abdillah An-Nazani. Tidak berapa lama thariqat ini pun
ditinggalkan. Kemudian Thariqat Sayid Muhammad Al-Habib bin Muhammad, seorang
kutub yang masyhur dengan Al-Ghamari As-sijlimasi Ash-Shadiqi (w. th. 1165 H.)
melalui orang yang telah mendapatkan izin. Thariqat ini pun ditinggalkan. Selanjutnya
Syeikh mengambil ijazah dari Tokoh Malamatiyah, Sayid Abul Abbas Ahmad
Ath-Thawas di Tazah. Ath-Thawas mengajarkan salah satu isim (nama ilahi)
kepadanya dan berkata:
“Tetaplah khalwat, menyendiri dan dzikir. Sabarlah, sehingga Alloh memberikan
futuh kepadamu. Sesungguhnya dirimu akan memperoleh kedudukan yang agung.” Perkataan
At-Thawas agaknya tidak ditanggapi oleh Syeikh Ahmad Tijani, sehingga ia
mengulangi perkataannya: “Tetapkanlah dzikir ini dan abadikan, tanpa harus
kholwah dan meyendiri. Maka Alloh akan memberikan futuh kepadamu atas keadaan
tersebut.”
Perkataan At-Thawas yang kedua ini tidak banyak dikutip. Justeru perkataan
pertama yang banyak ditulis. Padahal perkataan yang kedualah yang menunjukkan
pokok dasar pemikiran Syeikh At-Tijani yang kemudian menjadi ciri utama
Thariqatnya. Di samping itu, Ath-Thawas juga memberikan isyarat dari kedudukan
yang akan diperoleh Syeikh. Beliau melakukan dzikir tersebut tidak lama,
kemudian meninggalkannya. At-Thawas meninggal pada tanggal 18 Jumadil Ula 1204
H di Tazah. Dalam proses pencarian ini, Syeikh banyak mengetahui beberapa
aliran Thariqat dan mengamalkannya. Meskipun kemudian tidak diteruskan. Karena
adanya Inayah Robbaniyah untuk menolaknya dan tidak mengambilnya. Kecuali dari
Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sebagai kekhasan seorang yang mempunyai
cita-cita tinggi.
Sebagaimana telah diterangkan terdahulu, bahwa setelah melakukan lawatannya ke
Fas, Syeikh menetap di Zawiyahnya Sayid Abdul Qadir bin Muhammad di Shahara
Dzar, tidak jauh dari Ain Madhi. Sebagaimana petunjuk yang diperoleh
sebelumnya. Bahwa futuhnya akan diperoleh di sana.
Syeikh
memasuki Tunisia pada tahun 1180 H. Di daerah Azwawi, Al-Jazair Syeikh menemui
seorang guru besar yang arif, Sayid Abu Abdillah Muhammad bin Abdurrohman
Al-Azhari. Syeikh mengambil Thariqat Khalwatiyah darinya. Al-Azhari meninggal
pada permulaan Muharam tahun 1180 H. Selanjutnya Syeikh menuju ke Tilmisan pada
tahun 1181 dan menetap di sana. Syeikh mengabdikan dirinya dengan ibadah dan
membaca ilmu. Terlebih Ilmu Hadits dan Tafsir. Syeikh terus-menerus melakukan
taqarrub dengan bertawajjuh pada keagungan rububiyah dengan menyatakan
ke-shidiq-an ubudiyahnya. Memberikan kemanfaatan kepada manusia dengan keluasan
ilmunya. Sehingga mulai terlihat kefutuhan yang membuka beberapa hijab yang
menghalangai antara seorang hamba dan Alqudus (Alloh). Syeikh menyatakaan hijab
yang tersingkap adalah 165.000 hijab. Maka batinnya dipenuhi oleh cahaya Tauhid
dan Irfan.
Setelah memperoleh banyak penyingkapan di Tilmisan Syeikh pergi melaksanakan
haji dan ziarah kepada Nabi Muhammad SAW. Syeikh berangkat dari Tilmisan pada
tahun 1186 H.
Dalam perjalanannya Syeikh berhenti di Tunisia dan menetap di Susah, selama
setahun. Syeikh berjumpa dan bersahabat baik dengan seorang wali yang terkenal,
Sayid Abdus Shamad Ar-Rahawi, salah seorang dari 4 murid wali kutub negeri
tersebut. Wali kutub itu sendiri tidak dapat ditemui oleh siapa pun, kecuali
seorang di antara 4 orang muridnya. Pertemuan tersebut hanya dilakukan pada
malam hari, khususnya Malam Jum’at dan Senin. Hal itu disebabkan untuk menutupi
kedudukannya. Syeikh meminta supaya Sayid Abdus Shamad berkenan mempertemukan
dan mengenalkannya. Yang pada akhirnya Beliau pun dapat berjumpa dengannya.
Thariqat
Tijaniyah adalah Thariqat yang dikembangkan oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad.
Mengambil dari nama kabilahnya. Thariqat ini juga masyhur dengan nama Thariqat
Al-Muhammadiyah. Thariqat ini diterima langsung dari Rasululloh SAW dalam
keadaan jaga. Bukan dalam keadaan tidur. Memang sebelum mendapatkan ijazah
langsung dari Rasululloh SAW, Syeikh Ahmad pernah mengambil beberapa jalur
Thariqat dari beberapa Syeikh lain. Seperti Thariqat Khalwatiyah dari Abi
Abdillah bin Abdur Rahman Al-Azhari.
Pada
usia 46 tahun (tahun 1196 H.), Beliau dianugerahi berjumpa dengan Rasululloh
SAW dalam keadaan Yaqdhah (terjaga). Dan sejak saat itu Rasululloh SAW selalu
mendampinginya dan tidak pernah hilang dari pandangannya. Keadaan inilah yang
disebut dengan Al-Fathul Akbar (terbukanya tirai yang menghalangi antara
seseorang dan Rasululloh). Rasululloh SAW selalu membimbing Syeikh Ahmad bin
Muhammad At-Tijani dan memerintahkan kepada Syeikh untuk meninggalkan sandaran
kepada guru-gurunya. Karena gurunya sekarang adalah Rasululloh SAW secara
langsung. Sehingga Beliau selalu berkata dengan menyandarkannya kepada
Rasululloh SAW. Ketika itu, Rasululloh SAW mentalkin (mengajarkan) dzikir/wirid
berupa Istighfar dan Shalawat. Masing-masing dibaca 100 kali. Pengajaran dzikir
ini disempurnakan oleh Rasululloh SAW pada tahun 1200 H. dengan tambahan
Hailalah 100 kali. Dzikir inilah yang diperintahkan oleh Rasululloh SAW untuk
disebarluaskan dan diajarkan kepada seluruh umat manusia dan jin. Ketika Syeikh
Ahmad bin Muhammad berusia 50 tahun. Pada Bulan Muharam, tahun 1214 H Syeikh
Ahmad bin Muhammad telah sampai pada martabat Al-Quthub AL-Kamil, Al-Quthbul
Al-Jami’ dan Al-Quthbul Udzhma. Pengukuhan ini dilakukan di Padang Arafah,
Makah Al-Mukaramah.
Pada tahun yang sama, hari ke-18 Bulan Shafar, Beliau dianugerahi sebagai
Al-Khatmu Al-Auliya Al-Maktum (Penutup para wali yang tersembunyi). Hari inilah
yang kemudian diperingati oleh Jamaah, Ikhwan, dan para muhibbin Thariqat
Tijaniyah sebagai Idul Khatmi. Beliau meninggal di Faz, Maroko, tahun 1230 H.
Jawahirul Ma’ani, Sayyid Ali Harazim bin Arabi. Keterangan lain dari Sayyid
Zubair, cucu kelima Syekh Ahmad.
Sayyidi
Ahmad Al Rifa’i dilahirkan pada tahun 500 Hijriah. Pertama kali beliau belajar
Ilmu Fiqih Mazhab Syafi’i dengan mempelajari Kitab Al-Tanbih, akan tetapi
beliau lebih cenderung kepada ilmu tasawuf. Beliau terkenal sebagi rujukan
pimpinan ilmu thoriqoh, karena memiliki ilmu haqiqat yang tinggi dan sebagai
wali qutub yang agung dan masyhur di zaman sesudah syeikh Abdul Qodir al
Jailany ra. Beliau sangat terkenal dan memiliki pengikut yang banyak. Para
pengikutnya terkenal dengan sebutan “Al-Thoifah Al-Rifa’iyah”.
Dalam
kitab Tobaqot diterangkan, pada saat mengajar syeikh Ahmad Rifa’i tidak mau
sambil berdiri. Orang-orang yang tinggalnya jauh bisa mendengar apa yang
disampaikan beliau sama seperti orang yang dekat dengan tempat pengajian.
Sehingga penduduk disekitar desa Ummi Abidah banyak yang keluar dari rumahnya
untuk mendengarkan apa yang disampaikan oleh syeikh Ahmad Rifa’i ini. Bahkan
orang yang tadinya tuli jika mau hadir mengaji oleh Allah, dibukakan
pendengarannya sehingga bisa mendengar apa yang disabdakan oleh syeikh Ahmad
Rifa’i. Para guru thoriqoh banyak yang hadir untuk mendengarkan sabda-sabda
dari Syeikh Ahmad Al Rifa’i dengan menggelar sajadah sebagai tempat duduk.
Setelah syeikh Ahmad selesai memberi pelajaran, mereka pulang sambil
menempelkan sajadah kedadanya masing-masing, sehingga sesampai di rumah mereka
bisa menjelaskan kepada para muridnya.
Banyak hal aneh yang sering
terjadi pada diri murid Syeikh Ahmad Rifa’i seperti, mereka dapat masuk ke
dalam api yang sedang menyala. Mereka juga dapat menjinakkan binatang buas,
seperti harimau di mana hewan ini akan menuruti apa yang mereka katakan.
Sehingga harimau ini dapat dijadikan kendaraan oleh mereka. Banyak lagi
keajaiban-keajaiban lain yang ada pada mereka.
Ketika
pertama kali Sayyidi Ahmad bertemu dengan seorang Wali bernama Syeikh Abdul
Malik Al-Khonubi. Syeikh ini memberinya pelajaran berupa sindiran tetapi sangat
berkesan buat Syeikh Ahmad Al Rifa’i. Sindiran itu berbunyi ; Orang yang
berpaling dia tiada sampai. Orang yang ragu-ragu tidak dapat kemenangan.
Barangsiapa tidak mengetahui waktunya kurang, maka semua waktunya telah kurang.
Setahun lamanya Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i mengulang-ulang perkataan ini.
Setelah
setahun dia datang kembali menemui Syeikh Abdul Malik Al-Khonubi. Sayyidi Ahmad
Al-Rifa’i minta wasiat lagi, maka berkata Syeikh Abdul Malik; Sangatlah keji
kejahilan bagi orang-orang yang mempunyai Akal; Sangatlah keji penyakit pada
sisi semua doktor; Sangatlah keji sekalian kekasih yang meninggalkan Wusul
(sampai kepada Allah). Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i mengulang-ulang pula perkatan
itu selama setahun dan beliau banyak mendapat manfaat dari perkataan itu karena
perkataan itu diresapi, dihayati dan diamalkan.
Salah satu dari sekian budi
pekerti Syeikh Ahmad Al Rifa’i yang mulia ialah beliau seringkali membawa serta
membersihkan pakaian orang-orang yang berpenyakit kusta dan beberapa penyakit
yang sangat menjijikkan menurut pandangan umum. Dipeliharanya orang-orang yang sedang
sakit itu; diantarkan makanan untuk mereka dan beliau juga turut makan
bersama-sama dengan orang-orang sakit itu tanpa ada rasa jijik.
Kalau
Syeikh Ahmad Al Rifa’i datang dari perjalanan, apabila telah dekat dengan
kampung halamannya maka dipungutnya kayu bakar, setelah itu dibagi-bagikan
kepada orang-orang sakit, orang buta, orang-orang jompo atau orang tua yang
membutuhkan pertolongan. Syeikh Ahmad berkata : “Mendatangi orang-orang yang
semacam itu bagi kita wajib bukan hanya sunah. Bahkan Nabi bersabda : “Barang
siapa yang memuliakan orang tua yang Islam, maka Allah akan meluluhkan orang
untuk memuliakannya apabila ia sudah tua”.
Beliau setiap dijalan selalu
menanti datangnya orang buta, kalau ada orang buta datang lalu dipegang dan
dituntun sampai tujuan. Beliau mempunyai kasih sayang bukan hanya kepada
manusia saja, tetapi juga kepada binatang, sehingga kalau bertemu dengan siapa
saja selalu mendahului memberi salam, bahkan juga kepada hewan. Diriwayatkan
bahwa ada seekor anjing yang menderita sakit kusta. Kemana saja anjing itu
pergi, ia akan diusir. Anjing tersebut diambil oleh Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i
lalu dimandikan dengan air panas, diberikan obat dan makan secukupnya, sampai
anjing tersebut sembuh dari penyakit yang dideritanya. Kalau ada orang yang
bertanya tentang apa yang diperbuatnya beliau berkata : “Aku selalu membiasakan
pekerjaan yang baik. Syeikh Ahmad ini kalau dihinggapi nyamuk beliau
membiarkannya dan tidak boleh ada orang lain yang mengusirnya. Beliau berkata,
“Biarkanlah dia meminum darah yang dibagikan Allah kepadanya. Pada suatu hari
ada seekor kucing sedang nyenyak tidur di atas lengan bajunya. Waktu sholat
telah masuk, lalu digunting lengan bajunya itu karena tidak sampai hati
mengejutkan kucing yang sedang lelap tidur itu. Seusai sholat lengan bajunya
diambil dan dijait lagi.
Budi
pekerti mulia yang lain ialah beliau tidak mau membalas kejahatan dengan
kejahatan. Apabila beliau dimaki oleh orang, beliau terus menundukkan kepalanya
mencium bumi dan menangis serta meminta maaf kepada yang memakinya. Beliau
pernah dikirimi surat oleh Syeikh Ibrohim al Basity yang isi suratnya
merendahkan martabat beliau, lalu beliau berkata kepada orang yang menyampaikan
surat itu : “Coba bacalah surat itu, dan ternyata isinya adalah : “Hai orang yang
buta sebelah, hai dajjal, hai orang yang bikin bid’ah dan berbagai macam
perkataan yang menyakitkan hati. Setelah selesai membaca surat kemudian surat
itu diterima oleh syeikh Ahmad, dibaca kemudian berkata : “Ini semua betul,
smoga Allah membalas kebaikan kepadanya. Beliau terus berkata dengan syiir,
“Maka tidaklah aku peduli kepada orang yang meragukan aku yang penting menurut
Allah, aku bukanlah orang yang meragukan. Kemudian syeikh berkata : “Tulislah
sekarang jawaban balasanku yang berbunyi “Dari orang rendahan kepada tuanku
syeikh Ibrohim. Mengenai tulisanmu seperti yang tertera dalam surat, memang
Allah telah menjadikan aku menurut apa yang dikehendaki-Nya dan aku
mengharapkanmu hendaknya sudi bersedekah kepadaku dengan mendo’akan dan
memaafkanku. Setelah surat balasan ini sampai pada syeikh Ibrohim dan dibaca
isinya, kemudian syeikh Ibrohim pergi entah kemana tidak ada orang yang tahu.
Jika ada
orang minta dituliskan azimat kepadanya, maka Syeikh Ahmad mengambil kertas
lalu ditulis tanpa pena. Sewaktu beliau pergi Haji, ketika berziarah ke Maqam
Nabi Muhammad Saw, maka nampak tangan dari dalam kubur Nabi bersalaman dengan
beliau dan beliau pun terus mencium tangan Nabi SAW yang mulia itu. Kejadian
itu dapat disaksikan oleh orang ramai yang juga berziarah ke Maqam Nabi Saw
tersebut. Salah seorang muridnya berkata ; “Ya Sayyidi! Tuan Guru adalah
Qutub”. Jawabnya; “Sucikan olehmu syak mu daripada Qutubiyah”. Kata murid:
“Tuan Guru adalah Ghauts!”. Jawabnya: “Sucikan syakmu daripada Ghautsiyah”.
Al-Imam Sya’roni mengatakan bahwa yang demikian itu adalah dalil bahwa Sayyidi
Ahmad Al-Rifa’i telah melampaui “Maqaamat” dan “Athwar” karena Qutub dan Ghauts
itu adalah Maqam yang maklum (diketahui umum).
Sebelum
wafat beliau telah menceritakan kapan waktunya akan meninggal dan sifat-sifat
hal ihwalnya beliau. Beliau akan menjalani sakit yang sangat parah untuk
menangung bilahinya para makhluk. Sabdanya, “Aku telah di janji oleh Allah,
agar nyawaku tidak melewati semua dagingku (daging harus musnah terlebih dahulu).
Ketika Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i sakit yang mengakibatkan kewafatannya, beliau
berkata, “Sisa umurku akan kugunakan untuk menanggung bilahi agungnya para
makhluk. Kemudian beliau menggosok-ngosokkan wajah dan uban rambut beliau
dengan debu sambil menangis dan beristighfar . Yang dideritai oleh Sayyidi
Ahmad Al-Rifa’i ialah sakit “Muntah Berak”. Setiap hari tak terhitung banyaknya
kotoran yang keluar dari dalam perutnya. Sakit itu dialaminya selama sebulan.
Hingga ada yang tanya, “Kok, bisa sampai begitu banyaknya yang keluar, dari
mana yaa kanjeng syeikh. Padahal sudah dua puluh hari tuan tidak makan dan
minum. Beliau menjawab, “Karena ini semua dagingku telah habis, tinggal otakku,
dan pada hari ini nanti juga akan keluar dan besok aku akan menghadap Sang Maha
Kuasa. Setelah itu ketika wafatnya, keluarlah benda yang putih kira-kira dua
tiga kali terus berhenti dan tidak ada lagi yang keluar dari perutnya. Demikian
mulia dan besarnya pengorbanan Aulia Allah ini sehingga sanggup menderita sakit
menanggung bala yang sepatutnya tersebar ke atas manusia lain. Wafatlah Wali
Allah yang berbudi pekerti yang halus lagi mulia ini pada hari Kamis waktu
duhur 12 Jumadil Awal tahun 570 Hijrah. Riwayat yang lain mengatakan tahun 578
Hijrah.