TAREKAT SANUSIYAH
Syekh
Muhammad Ali AsSanusi
Tarekat Sanusiyah
yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Ali As-Sanusi. Tarekat Sanusiyah bukan
semata-mata tarekat biasa, melainkan ia adalah sebuah gerakan. Gerakan tajdid
dan islam. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1837.
Syaikh Ali As-Sanusi
dilahirkan di Mostaganem, Aljazair, pada tahun 1787. Syaikh
Muhammad Ali as-Sanusi adalah seorang ulama yang ikhlas dan suka
merendahkan dirinya. Beliau menyeru kepada ijtihad dan memerangi taqlid. Oleh
karena itu, beliau telah mencapai kemajuan yang pesat di atas jalan keruhanian.
Tarekatnya bebas dari syirik dan khurafat. Tersebar luas hingga ke Selatan
Afrika, Sudan, Somalia dan sebahagian negara Arab. Gerakan ini terpengaruh oleh
al-Imam Ahmad bin Hanbal, dan Abu Hamid al-Ghazali. Dalam berdakwah kepada
Allah, gerakan ini menggunakan cara lembut dan berhikmah. Mereka menekankan
dalam kerja-kerja tangan dan senantiasa berjihad Fi Sabilillah menentang penjajah,
Salibi dan sebagainya.
Syaikh Ali As-Sanusi
mendalami tasawuf di Marokes, Maroko. Ia tidak hanya pakar agama, dalam
memimpin (leadership) pun jagonya. Saat TO membentuk tim pergerakan renaissance
Eropa, Syaikh Ali As-Sanusi adalah salah satu orang anggotanya. Namun, tidak
jelas latar penyebabnya tiba-tiba tarekat yang ia pimpin menjadi oposisi utama
TO. Berbekal kemampuannya memimpin, Syaikh Ali As-Sanusi menyebarkan terekatnya
sampai membentang ke timur masuk ke Mesir. Di selatan pengikutnya tersebar di
Sudan dan Chad. Pengikut Sanusiyah juga berada di Aljazair dan Tunisia. Dengan
modal berbahasa Inggris di Sudan dan Prancis di Chad, Syaikh Ali As-Sanusi
melanjutkan misinya memasuki wilayah Koufra pada rute Karavan, antara Wadai dan
Benghazi, sejak tahun 1894.
Secara riil misi gerakan
ini adalah memurnikan kembali ajaran Islam ke doktrin yang murni dan mendirikan
negara Islam. Namun, isu-isu yang dilontarkan oleh Muhammad Abduh dan
Jamaluddin Al-Afghani menghambat penyebaran tarekat Sanusiyah. Sebab, menurut
Nicola Ziyadah, ”Seruan mereka berdua lebih modern dari pada gerakan tarekat
Sanusiyah dan gagasan-gagasannya juga lebih komprehensif, maka lebih mudah
diterima oleh masyarakat Arab.” Selain itu, masih menurut Nicola, gagasan
mereka sesuai dengan konteks dan memiliki korelasi yang kuat dengan pemikiran
masyarakat Arab.
Meskipun demikian, penduduk
Tripoli tetap menjadi pengikut setia tarekat Sanusiyah. Apalagi setelah tokoh
perjuangan Libya yang melegenda, Omar Al-Mukhtar, menjadi pengikut fanatik
sekte sufi ini. Bergabungnya Al-Mukhtar menjadi udara segar. Ia seorang pejuang
yang mampu membuat pasukan Italia terserang ”migren.” Lion of the Desert dari
Libya itu bagi Italia adalah duri dalam daging. Kemampuan diplomasinya yang
luar biasa mampu menyatukan suku-suku Libya yang sejak lama terkotak-kotak
akibat termakan fitnah Italia yang memecah-belah suku.
The International Magazine
on Arab Affair Special Report mencatat peran anggota Sanusiyah nan perkasa itu,
”Bagi tentara Italia yang jauh lebih kuat persenjataan, para pejuang Libya
barangkali hanyalah sekelompok orang bersenjata tidak berarti. Namun, dibawah
pimpinan Omar Al Mukhtar, para pejuang itu membuat Italia berperang tanpa akhir
di padang pasir. Mereka datang bagaikan burung Ababil ketika membuat tentara
Abraham porak-poranda saat menyerang Kabah.” Al Mukhtar tetaplah Al Mukhtar,
seonggok daging sama seperti manusia yang lain. Setangguh apapun ia, kematian
pasti mampir jua. Persenjataan yang tidak seimbang cukup sebagai alasan untuk
membuat para pejuang Libya ”kelelahan.” Al Mukhtar tertangkap di padang Koufra.
Kemudian, dihukum gantung di hadapan pengikutnya pada 1932. Akan tetapi, jika
prediksi Italia digantungnya pengikut fanatik tarekat Sanusiyah ini akan memadamkan
gerakan anggotanya yang lain, maka prediksi tersebut salah besar. Justru
kesyahidannya membakar generasi muda Libya untuk bisa mewujudkan harapan bersama:
Libya harus merdeka. Pada 31 Januari 1942, anak-anak muda Libya yang sedang
study di Kairo mendeklarasikan Jam’iyyah Omar Al Mukhtar dengan misi: mencapai
kemerdekaan Libya (Izzuddin Abdussalam, Tarikh Libya Al Muashir Al Siasi Wa Al
Ijtimai). Akhirnya, perjuangan tarekat Sanusiyah mendirikan negara independen
terwujud pasca-Perang Dunia ke II atas bantuan Inggris dan Soviet dan
mendapatkan pengakuan dari PBB. Dan salah seorang cucu pendiri tarekat ini,
Idris Sanusi, diangkat sebagai raja Libya pertama pada tahun 1952 dengan nama
Raja Idris I.
Demikianlah sekilas tentang
peran tarekat sufi (Sanusiyah) bagi kebangkitan nasional (Libya). Mulai saat
menjadi oposisi dinasti Utsmaniyyah sampai menyingkirkan penjajah Italia, dan
menjadi orang nomor satu di Libya. Walaupun umur pemerintahannya seumur jagung
saja. Setelah salah seorang perwira muda, Moammar Khadafy, yang baru pulang
dari Inggris melakukan revolusi tidak berdarah (1969), dinasti (tarekat)
Sanusiyah berakhir.
No comments:
Post a Comment