PERKEMBANGAN
TAREKAT SYADZILIYAH
Sementara
itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan Hijriyah, Ibn Abbad ar-Rundi
(w. 790 H), salah seorang pensyarah kitab al-Hikam memberikan kesimpulan dari
ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pikiran
tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan
kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu
kebutuhan yang mendalam akan-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi syukur
kepada kita.”
Mengenai dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam
tareqat, secara umum pada pola dzikir tareqat ini biasanya bermula dengan
Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam
dua baris yang saling berhadapan, dan syekh di pusat lingkaran atau diujung
barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini,
kebijakjsanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari
dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan
memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai
maupun terhadap orang-orang disekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma
Allah diberikan oleh Ibn Atha’ilah berikut: “Asma al-Latif,” Yang Halus harus digunakan
oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha mempertahankan
keadaan spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai membuat sang sufi
dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam
kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar; dan Asma
al-Faiq, “Yang Mengalahkan” sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi
hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi.
No comments:
Post a Comment