DEMOGRAFIK
PARA PENGIKUT TAREKAT SYADZILIYAH
Tareqat
Syadziliyah terutama menarik dikalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan
pengawai negeri. Mungkin karena kekhasan yang tidak begitu membebani
pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam
tareqat-tareqat yang lainnya. Setiap anggota tareqat ini wajib mewujudkan
semangat tareqat didalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan mereka tidak
diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karenanya, ciri khas
yang kemudian menonjol dari anggota tareqat ini adalah kerapian mereka dalam
berpakaian. Kekhasan lainnya yang menonjol dari tareqat ini adalah “ketenagan”
yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya: asy-Syadzili, Ibn
Atha’illah, Abbad. A Schimmel menyebutkan bahwa hal ini dapat dimengerti bila
dilihat dari sumber yang diacu oleh para anggota tareqat ini. Kitab ar-Ri’ayah
karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang telaah psikologis mendalam mengenai
Islam di masa awal. Acuan lainnya adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya
Ulumuddin karya al-Ghozali. Ciri “ketenangan” ini tentu sja tidak menarik bagi
kalangan muda dan kaum penyair yang membutuhkan cara-cara yang lebih menggugah
untuk berjalan di atas Jalan Yang Benar.
Disamping
Ar-Risalahnya Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya’nya, Hakim
at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut tareqat ini adalah
keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota
tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan
senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini.
Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, Martin
menyebutkan bahwa pengamalan tareqat ini di Indonesia dalam banyak kasus lebih
bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang, kalau memang pernah,
bertemu dengan yang lain. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya
membaca secara individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan
diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tareqat ini
mempelajari berbagai hizib, paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin)
yang diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan
tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan
dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tareqat.
No comments:
Post a Comment