KEMAMPUAN DAN SYARAT SYARAT MUSYID
Idealnya
seorang guru mursyid atau syaikh dalam thareqat memenuhi kemampuan-kemampuan
dan harapan di mata muridnya sebagai berikut :
- Syaikh al Iradah, yaitu tingkat tertinggi dalam thareqat yang iradahnya (kehendaknya) telah bercampur dan bergabung dengan hukum tuhan, sehingga dari syaikh itu atau atas pengaruhnya orang yang meminta petunjuk menyerahkan jiwa dan raganya secara total.
- Syaikh al Iqtida’, yaitu guru yang tindak tanduknya sebaiknya ditiru oleh murid, demikian pula perkataan dan perbuatannya seyogyanya diikuti.
- Syaikh at Tabarruk, yaitu guru yang selalu dikunjungi oleh orang-orang yang meminta petunjuk, sehingga berkahnya melimpah kepada mereka.
- Syaikh al Intisab, ialah guru yang atas campur tangan dan sifat kebapakannya, maka orang yang meminta petunjuknya akan beruntung, lantaran bergantung kepadanya. Dalam hubungan ini orang itu akan menjadi khadamnya (pembantunya) yang setia, serta rela menerima berbagai perintahnya yang berkaitan dengan tugas-tugas keduniaan.
- Syaikh at Talqin, adalah guru keruhanian yang mengajar setiap individu anggota thareqat dengan berbagai do’a atau wirid yang selalu harus diulang-ulang.
- Syaikh at Tarbiyah, adalah guru yang melaksanakan urusan-urusan para pemula dari pengamal thareqat.
Dalam
kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan,
— dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra,
— bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada
lima:
- Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
- Memiliki pengetahuan yang benar.
- Memiliki cita (himmah) yang luhur.
- Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
- Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.
Sebaliknya
kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:
- Bodoh terhadap ajaran agama.
- Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
- Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
- Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
- Berakhlaq buruk tanpa peduli dengan perilakunya.
Syekh
Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap
ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima
karakter di bawah ini maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:
- Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
- Mempermainkan thaat kepada Allah.
- Tamak terhadap sesama makhuk.
- Kontra terhadap Ahlullah
- Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.
Syekh
Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada
dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada
amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada
Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”
Ibnu
Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada
seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan
tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.
Seorang
Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak
memberikan beban berat kepada para muridnya. Dari kalimat ini menunjukkan bahwa
banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak
pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia
Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan
gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan
jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam
dunia sufi.
Jika
secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara
umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:
- Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
- Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
- Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
- Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
- Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.
Manifestasi
Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah. Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi
melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling
dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada
Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap
kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka,
dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.
Secara
keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
- Himmah yang tinggi,
- Menjaga kehormatan,
- Bakti yang baik,
- Melaksanakan prinsip utama; dan
- Mengagungkan nikmat Allah Swt.
Dari
sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya
memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga
mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.
Rasulullah
saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam
Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as.
Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama,
ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus
diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir
adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional
Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal
batiniyah.
Karena
itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid
dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab
asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan
etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar
al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.
No comments:
Post a Comment