SYAIKH
KHOLIL BANGKALAN MADURA
Mursyid Tarekat Qodiriyah Wannaqsyabandiyah
Banyak
ulama generasi sekarang yang meski tidak pernah ketemu fisik dan bahkan
lahirnya jauh sesudah syaikhona Kholil meninggal, mengakui kalau perintis dakwah
di Pulau Madura ini adalah guru mereka. Bukan guru secara fisik, melainkan
pembimbing secara batin.Sejumlah murid yang berhasil dicetak menjadi ulama
besar oleh Syaikhona Kholil adalah, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari (Tebu
Ireng Jombang), KH Wahab Hasbullah (Tambak Beras Jombang), KH Bisri Syansuri
(Denanyar Jombang), KH As’ad Syamsul Arifin (Sukorejo Situbondo), Kiai Cholil
Harun (Rembang), Kiai Ahmad Shiddiq (Jember), Kiai Hasan (Genggong
Probolinggo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo), Kiai Abi Sujak (Sumenep),
Kiai Toha (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Usymuni (Sumenep), Kiai Abdul Karim
(Lirboyo Kediri), Kiai Munawir (Krapyak Yogyakarta), Kiai Romli Tamim (Rejoso
Jombang), Kiai Abdul Majid (Bata-Bata Pamekasan). Dari sekian santri Syaikhona
Kholil pada umumnya menjadi pengasuh pesantren dan tokoh NU seperti Hadratus
Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Hasbullah. Bahkan Presiden pertama RI
Soekarno, juga pernah berguru pada Syaikhona Kholil Bangkalan. Selain berhasil
mencetak para santri-santrinya menjadi kiai, Syaikhona Kholil adalah salah satu
kiai yang menjadi penentu berdirinya organisasi terbesar di Indonesia, yakni
Nahdlatul Ulama yang disingkat (NU).
KH
Kholil menimba ilmu di Mekah selama belasan tahun. Satu angkatan dengan KH
Hasyim Asy’ari. Selevel di bawahnya, ada KH Wahab Chasbullah dan KH Muhammad
Dahlan. Ada tradisi di antara kiai sepuh zaman dulu, meski hanya memberi
nasihat satu kalimat, tetap dianggap sebagai guru Demikian juga yang terjadi di
antara 4 ulama besar itu. Mereka saling berbagi ilmu pengetahuan, sehingga satu
sama lain, saling memanggilnya sebagai tuan guru.
Sampai
sekarang, meski sudah meninggal, banyak ulama yang mengaku belajar secara gaib
dengan Kyai Kholil. Banyak cara dilakukan untuk belajar kitab secara gaib dari
ulama tersohor ini. Salah satunya dengan berziarah serta bermalam di makam
beliau. Pernah dikisahkan KH Anwar Siradj, pengasuh PP Nurul Dholam Bangil
Pasuruan. Saat mempelajari kitab alfiyah, beliau mengalami kesulitan. Padahal,
kitab yang berupa gramatika Bahasa Arab tersebut, merupakan kunci untuk
mendalami kitab-kitab lain.
Kiai
Anwar sudah mencoba berguru kepada kiai-kiai besar di hampir semua penjuru Jawa
Timur. Tapi hasilnya nihil. Suatu ketika, seperti dikisahkan ustadz Muhammad
Salim (santri Nurul Dholam), Kiai Anwar dapat petunjuk, agar mempelajari kitab
alfiyah di makam Kyai Kholil. Petunjuk gaib itu pun dilaksanakan. Selama
sebulan penuh Kiai Anwar ziarah di makam Mbah Kholil Bangkalan. Di makam itu
dia mempelajari kitab alfiyah. Akhirnya Kiai Anwar bisa menghafal alfiyah.
Kyai
Kholil paling dituakan dan berkaromah di antara para ulama saat itu. Yang
sangat terkenal adalah pasukan lebah gaib. Dalam situasi kritis, beliau bisa
mendatangkan pasukan lebah untuk menyerang musuh. Ini sering beliau perlihatkan
semasa perang melawan penjajah. Termasuk saat peristiwa 10 November 1945 di
Surabaya.
Mbah
Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab
Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua kekuatan gaibnya
untuk melawan tentara Sekutu.
Hizib-hizib
yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan
lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu
bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar. Tak ketinggalan, Mbah Kholil
mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib
piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar.
Saat
konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan. Hasilnya
terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang
senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan
gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan.
Karomah
lain dari Kyai Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di
beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau
mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak
terpantau mata. Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub. Para santri heran.
Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor
masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki
itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Kyai
Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah
laut, langsung ditolong Kyai Kholil. Kedatangan nelayan itu membuka tabir.
Ternyata saat memberi pengajian, Kyai Kholil dapat pesan agar segera ke pantai
untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki,
dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu.
***
Hari
Selasa, 27 Januari 1820 atau 11 Jumada Al-Tsaniyah 1235 H/ 11 Jamadilakhir 1235
Hijrah di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten
Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur Abd Al-Latif, seorang kiai di Kampung
Senenan, desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan,Kabupaten
Bangkalan, Ujung Barat Pulau Madura; merasakan kegembiraan yang teramat
sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat,
yang diberinya nama Muhammad Kholil.
Kiai
‘Abd. Al-Latif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin
ummat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai meng-adzani telinga kanan dan
meng-iqamati telinga kiri sang bayi, Kiai ‘Abdul Latif memohon kepada Allah
agar Dia mengabulkan permohonannya.
KH.
Kholil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, K.H. ‘Abd Al-Latif, mempunyai
pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah ‘Abd Al-Latif adalah Kiai Hamim,
anak dari Kiai ‘Abd Al-Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kiai
Muharram bin Kiai Asra Al-Karamah bin Kiai ‘Abd Allah b. Sayyid Sulaiman.
Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau Kiai ‘Abd
Al-Latif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena
memang dia masih terhitung keturunannya.
Oleh
ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Kholil kecil memang menunjukkan bakat
yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar
biasa, bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait
ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya
mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Kholil mengirimnya ke
berbagai pesantren untuk menimba ilmu.
Mengawali
pengembaraannya, sekitar tahun 1850 an, Kholil muda berguru pada Kiai Muhammad
Nur di Pesantren Langitan Tuban. Dari Langitan, Kholil nyantri di Pesantren
Cangaan, Bangil, Pasuruan. Dari sini Kholil pindah lagi ke Pesantren
Keboncandi, Pasuruan.
Selama
di Keboncandi, Kholil juga belajar kepada Kiai Nur Hasan yang masih terhitung
keluarganya di Sidogiri. Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7
Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Kholil rela melakoni
perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya
dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin; dan
ini dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya itu- khatam berkali-kali.
Sebenarnya,
bisa saja Kholil tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kiai Nur Hasan,
tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi,
meskipun Kholil sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi
perekonomiannya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh
ayahnya dalam bertani. Karena, Kiai ‘Abd Al-Latif, selain mengajar ngaji, ia
juga dikenal sebagai petani dengan tanah yang cukup luas, dan dari hasil
pertaniannya itu (padi, palawija, hasil kebun, durian, rambutan dan lain-lain),
Kiai ‘Abd Al-Latif cukup mampu membiayai Kholil selama nyantri.
Akan
tetapi, Kholil tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau
merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Kholil
tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil
menjadi buruh batik inulah Kholil memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Kemandirian
Kholil juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena
pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk
mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Kholil tidak
menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua
orangtuanya.
Kemudian,
setelah Kholil memutar otak untuk mencari jalan ke luarnya, akhirnya ia
memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh
pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama
nyantri di Banyuwangi ini, Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa
pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang
diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Kholil menyiasatinya
dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta
menjadi juru masak teman-temannya, dari situlah Kholil bisa makan gratis.
Akhirnya,
pada tahun 1859 M., saat usianya mencapai 24 tahun, Kholil
memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Kholil
menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih. Setelah menikah,
berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa
tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk
makan selama pelayaran, konon, Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan
Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan
diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.
Sebagai
pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang
Indonesia) pada umumnya, Kholil belajar pada para syekh dari berbagai
mazhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti
Madzhab Syafi’i tak dapat di sembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian
dia lebih banyak mengaji kepada para Syekh yang bermazhab Syafi’i.
Kebiasaan
hidup prihatinnya pun, diteruskan ketika di Tanah Arab. Konon, selama di
Mekkah, Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang
lebih layak. Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup mengherankan. Teman
seangkatan Kholil antara lain: Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi, dan Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak
habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan temannya itu. Padahal,
sepengetahuan teman-temannya, Kholil tak pernah memperoleh kiriman dari
Tanah Air, tetapi Kholil dikenal pandai dalam mencari uang. Ia, misalnya,
dikenal banyak menulis risalah, terutama tentang ibadah, yang kemudian dijual.
Selain itu, Kholil juga memanfaatkan kepiawaiannya menulis khat (kaligrafi).
Meskipun bisa mencari uang, Kholil lebih senang membiasakan diri hidup
prihatin. Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi
ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi
dan menjadi panutannya.
Sepulangnya
dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun kepulangannya) , Kholil
dikenal sebagai seorang ahli Fiqih dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia-pun
dikenal sebagai salah seorang Kiai yang dapat memadukan ke dua hal itu dengan
serasi. Dia juga dikenal sebagai al-hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga
akhirnya, Kholil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan,
sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya.
Dari
hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun,
setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri,
yaitu Kiai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada
menantunya. Kiai Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah
Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun
kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1
Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.
Di
tempat yang baru ini, Kiai Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan
saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri
pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.
Di
sisi lain, Kiai Kholil di samping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat
(nahwu dan sharaf ), ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh
sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir
ini, nama Kiai Kholil lebih dikenal.
Pada
masa hidup Kiai Kholil, Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah menyebar di Madura. Kiai
Kholil adalah ahli Tarekat; meski pun tidak ada sumber yang menyebutkan kepada
siapa Kiai Kholil belajar Tarekat. Tapi, diyakini ada silsilah bahwa Kiai
Kholil belajar kepada Kiai ‘Abd Al-Azim dari Bangkalan — ahli Tarekat
Naqsyabandiyah Muzhariyah.
Masa
hidup Kiai Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah.
Tetapi, dengan caranya sendiri Kiai Kholil melakukan perlawanan; pertama, ia melakukannya
dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Kiai Kholil mempersiapkan
murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan
mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini
dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari
tangannya; salah satu di antaranya: Kiai Hasyim Asy’ari, Pendiri
Pesantren Tebuireng.
Cara
yang kedua, Kiai Kholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka,
melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa
ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam)
kepada pejuang, pun Kiai Kholil tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat
persembunyian.
Ketika
pihak penjajah mengetahuinya, Kiai Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang
menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Kiai Kholil, malah membuat pusing pihak
Belanda; karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti; seperti
tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh
supaya para tahanan tidak melarikan diri.
Di
hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan
kepada Kiai Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya.
Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Kiai Kholil
untuk di bebaskan saja.
Peran
Kiai Kholil dalam melahirkan NU, pada dasarnya tidak dapat diragukan lagi,
hal ini didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya, K.H. Hasyim Asy’ari,
menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang perlu
digarisbawahi bahwa Kiai Kholil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena tokoh
tersebut tetap pada K.H. Hasyim sendiri.
Mengulas
kembali ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU, ini berawal pada tahun 1924,
saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar
(potret pemikiran), yang didirikan oleh salah seorang kiai muda yang cukup
ternama pada waktu itu: Kiai Wahab Hasbullah.Kelompok ini lahir dari
kepedulian para ulama terhadap gejolak dan tantangan yang di hadapi umat Islam
kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan maupun dalm bidang
pendidikan dan politik.
Pada
perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin
mendirikan Jam’iyah (organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar
daripada hanya sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan, Kiai
Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal
ini tampaknya tidak ada persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke
semua lapisan. Tak terkecuali dari Kiai Hasyim Asy’ari; Kiai yang paling
berpengaruh pada saat itu.
Namun,
Kiai Hasyim, awalnya, tidak serta-merta menerima dan merestui ide tersebut.
Terbilang hari dan bulan, Kiai Hasyim melakukan shalat istikharahuntuk memohon
petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung datang.
Sementara
itu, Kiai Kholil, guru Kiai Hasyim, yang juga guru Kiai Wahab, diam-diam
mengamati kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan meminta seorang
santri yang masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap
kepadanya.
“Saat
ini, Kiai Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya.”
Kata Kiai Kholil sambil menyerahkan sebuah tongkat. Baik, Kiai.” Jawab Kiai
As’ad sambil menerima tongkat itu. Bacakanlah kepada Kiai Hasyim AYAT 17-23 QS
THAHA
As’ad
segera pergi ke Tebuireng, ke kediaman Kiai Hasyim, dan di situlah berdiri
pesantren yang diasuh oleh Kiai Hasyim. Mendengar ada utusan Kiai Kholil
datang, Kiai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut
benar adanya. “Kiai, saya diutus Kiai Kholil untuk mengantarkan dan menyerahkan
tongkat ini kepada Kiai.” Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu,
sambil mengeluarkan sebuah tongkat, dan Kiai Hasyim langsung menerimanya dengan
penuh perasaan.
“Ada
lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya Kiai Hasyim.“Ada Kiai,” jawab As’ad.
Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan Kiai Kholil. Mendengar ayat yang
dibacakan As’ad, hati Kiai Hasyim tergetar. Matanya menerawang, terbayang wajah
Kiai Kholil yang tua dan bijak. Kiai Hasyim menangkap isyarat, bahwa gurunya
tidak keberatan kalau ia dan teman-temannya mendirikan Jam’iyah. Sejak
saat itu, keinginan untuk mendirikan Jam’iyah semakin dimatangkan.
Hari
berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun Jam’iyah yang
diidamkan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari, pemuda As’ad muncul
lagi. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” kata
As’ad. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan asmak YA JABBAR, YA QAHHAR (lafadz
asma’ul husna) setiap waktu,” tambah As’ad.
Sekali
lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap
untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah itu, Kiai Kholil
meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah belum juga bisa
terwujud.
Baru
setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344 H., “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu
itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan di kemudian hari,
jabang bayi itu pun menjadi “raksasa”. Tapi, bagaimana Kiai Hasyim menangkap
isyarat adanya restu dari Kiai Kholil untuk mendirikan NU dari sepotong
tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena tongkat dan tasbih itu
diterimanya dari Kiai Kholil, seorang Kiai alim yang diyakini sebagai salah
satu Wali Allah.
Kiai
Kholil adalah salah satu Kiai yang belajar lebih daripada satu Madzhab saja.
Akan tetapi, di antara Madzhab-mazdhab yang ada, ia lebih mendalami Madzhab
Syafi’i di dalam Ilmu Fiqh. Pada masa kehidupan Kiai Kholil, yaitu akhir
abad-19 dan awal abad-20, di daerah Jawa, khususnya Madura, sedang terjadi
perdebatan antara dua golongan pada saat itu. Pada awal abad-20, seperti
telah diungkapkan sebelumnya, di daerah Jawa sedang terjadi
penyebaran ajaran Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah,
Naqsyabandiyah Muzhariyah dan lain-lain. Akan tetapi, tidaklah dapat
dipungkiri mengenai keterlibatan Kiai Kholil dalam tarekat, terbukti bahwa
Kiai Kholil dikenal pertamakali dikarenakan kelebihannya dalam hal tarekat, dab
juga memberikan dan mengisi ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang.
Di
sisi lain, Kiai Kholil pun diakui sebagai salah satu Kiai yang dapat
menggabungkan tarekat dan Fiqh, yang kebanyakan ulama pada saat itu
melihat dua hal tersebut bertentangan seperti Syekh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi, salah satu ulama yang notabene seangkatan dengan Kiai
Kholil. Memang, Kiai Kholil hidup pada masa penyebaran tarekat begitu
gencar-gencarnya, sehingga kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan
memilki ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak terkecuali Kiai Kholil. Namun
demikian, perbedaan antara Kiai Kholil dengan kebanyakan Kiai yang
lainnya; bahwa Kiai Kholil tidak sampai mengharamkan atau pun menyebutnya
sebagai perlakuan syirik dan bid’ah bagi penganut tarekat. Kiai Kholil justru
meletakkan dan menggabungkan antara ke duanya (tarekat dan Fiqh).
Dalam
penggabungan dua hal ini, Kiai Kholil menundukkan tarekat di bawah Fiqh,
sehingga ajaran-ajaran tarekat mempunyai batasan-batasan tersendiri yaitu fiqh.
Selain itu, ajaran tarekat juga tidak menjadi ajaran yang tanpa ada batasannya.
Namun, yang cukup disayangkan adalah, tidak banyaknya referensi yang
menjelaskan tentang cara atau pun pola-pola dalam penggabungan tarekat dan fiqh
oleh Kiai Kholil tersebut.
Dalam
bidang karya, memang hampir tidak ada literatur yang menyebutkan tentang karya
Kiai Kholil; akan tetapi Kiai Kholil meninggalkan banyak sejarah dan sesuatu
yang tidak tertulis dalam literatur yang baku. Ada pun peninggalan Kiai Kholil
diantaranya: Pertama, Kiai Kholil turut melakukan pengembangan
pendidikan pesantren sebagai pendidikan alternatif bagi
Masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahan Belanda, hanya sedikit
orang yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari golongan priyayi saja;
di luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah. Dari sanalah
pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah Jawa, dan terhitung sangat
banyak santri Kiai Kholil yang setelah lulus,
mendirikan pesantren. Seperti Kiai Hasyim (Pendiri Pesantren
Tebuireng), Kiai Wahab Hasbullah (Pendiri Pesantren Tambakberas) , Kiai Ali
Ma’shum (Pendiri Pesantren Lasem Rembang), dan Kiai Bisri Musthafa (Pendiri
Pesantren Rembang). Dari murid-murid Kiai Kholil, banyak murid-murid yang
dikemudian hari mendirikan pesantren, dan begitu
seterusnya sehingga pendidikan pesantren menjadi jamur di Indonesia.
Kedua,
selain Pesantren yang Kiai Kholil tinggal di Madura –khususnya, ia juga
meninggalkan kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil ia didik, sehingga
akhirnya menjadi pemimpin-pemimpin umat. K.H. Muhammad Kholil, adalah
satu fenomena tersendiri. Dia adalah salah seorang tokoh pengembang pesantren
di Nusantara. Sebagian besar pengasuh pesantren, memiliki sanad
(sambungan) dengan para murid Kiai Kholil, yang tentu saja memiliki
kesinambungan dengan Kiai Kholil.
Istilah
karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia, Syaikh Thohir
bin Sholeh Al-Jazairi mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang
tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi.
Ketika
Kiai Kholil masih muda, dia mendengar bahwa di Pasuruan ada seorang kiai yang
sangat sakti mandraguna. Namanya Abu Darin. Kholil muda ingin sekali belajar
kepada Abu Darin. Semangat untuk menimba ilmu itu begitu menggebu-gebu pada
dirinya sehingga jarak tempuh yang begitu jauh dari Bangkalan di Pulau Madura
ke Pasuruan di Pulau Jawa tidak dianggapnya sebagai rintangan berarti, meski
harus berjalan kaki.
Namun
apa daya, sesampainya Kholil muda di Desa Wilungan, Pasuruan, tempat kiai Abu
Darin membuka pesantren, ternyata Kiai Abu Darin sudah wafat. Dia meninggal
hanya beberapa hari sebelum kedatangan Kholil muda. Habislah harapannya untuk
mewujudkan cita-citanya berguru kepada kiai yang mempunyai ilmu tinggi
tersebut.
Dengan
langkah gontai karena capai fisik dan penat mental, hari berikutnya Kholil
berta’ziyah ke makam Kiai Abu Darin. Di depan pusara Kiai Darin, Kholil
membaca Al-Qur’an hingga 40 hari. Dan pada hari yang ke-41, ketika Kholil tengah
ketiduran di makam, Kiai Abu Darin hadir dalam mimpinya.
Dalam
kesempatan itu almarhum mengatakan kepada Kholil, “Niatmu untuk belajar sungguh
terpuji. Telah aku ajarkan kepadamu beberapa ilmu, maka peliharalah.” Kholil
lalu terbangun, dan serta merta dia sudah hafal kandungan kitab Imrithi,
Asymuni, dan Alfiyah, kitab utama pesantren itu. Subhanallah.
Pada
kisah yang lain, Kiai Kholil berusaha melindungi calon santrinya dari musibah,
padahal dia berada di Bangkalan, sementara si calon santri di tengah Alas
Roban, Batang, Pekalongan.
Menurut
cerita si calon santri yang bernama Muhammad Amin, ia berangkat dari Kempek,
Cirebon, bersama lima orang temannya, menuju Bangkalan, Madura, untuk berguru
kepada Kiai Kholil. Mereka tidak membawa bekal apa-apa kecuali beberapa lembar
sarung, baju, dan celana untuk tidur, parang, serta thithikan, alat
pemantik api yang terbuat dari batu.
Setelah
berjalan kaki berhari-hari, menerobos hutan dan menyeberangi sungai, mereka
sampai di tepi Hutan Roban di luar kota Batang, Pekalongan.
Hutan
itu terkenal angker, sehingga tidak ada yang berani merambahnya. Pohon-pohon
yang ada di hutan itu besar-besar, semak belukar sangat tinggi, banyak
binatang buas di dalamnya. Namun yang lebih menyeramkan, banyak perampok yang
berkeliaran di tepi hutan itu. Mereka perampok yang kejam dan tidak segan-segan
membantai mangsanya kalau melawan.
Menjelang
malam, tatkala enam orang calon santri itu sedang mencari tempat untuk tidur,
tiba-tiba muncul sesosok laki-laki. Namun karena tampangnya biasa-biasa saja,
mereka tidak menaruh curiga. Bahkan orang itu kemudian bertanya apa mereka
punya thithikan, karena ia akan menyulut rokok.
Namun
setelah benda itu dipegangnya, ia mengatakan bahwa batu itu terlalu halus
sehingga sulit dipakai untuk membuat api. “Masih perlu dibikin kasar sedikit,”
kata orang itu sambil memasukkan batu tersebut ke mulutnya lalu menggigitnya
sehingga pecah menjadi dua.
Terbelalak
mata enam orang calon santri itu menyaksikan kekuatan mulut laki-laki itu.
Mereka gemetar ketakutan. “Serahkan barang-barang kalian,” hardik orang itu.
Amin, yang paling berani di antara mereka, menjawab, “Kalau barang-barang
kami diambil, kami tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Bangkalan.” Mendengar
kata “Bangkalan”, orang itu tampak waswas. “Mengapa kalian ke sana?” dia balik
bertanya. “Kami mau berguru kepada Mbah Kholil,” jawab Amin.
Tersentak
laki-laki itu, seperti pemburu tergigit ular berbisa. Wajahnya pucat
pasi, bibirnya menggigil. “Jadi kalian mau nyantri sama Kiai Kholil?”
“Betul,” sahut enam calon santri itu bersamaan. Mereka gembira karena merasa
tidak akan dirampok. Tapi dugaan itu meleset. “Kalau begitu, serahkan semua barangmu
kepadaku,” kata lelaki itu. “Kalian tidur saja di sini, dan aku akan menjaga
kalian semalaman.”
Makin
ketakutan saja para remaja itu. Mereka kemudian memang membaringkan badan tapi
mata tidak bisa diajak tidur semalaman. Maut seakan sudah dekat saja. Keesokan
harinya, selepas mereka shalat Subuh, lelaki itu mengajak mereka pergi. “Ayo
kita berangkat,” ujarnya. “Ke mana ?” tanya para calon santri. “Akan kuantar
kalian ke luar dari hutan ini agar tidak diganggu oleh perampok lain,”
jawabnya tampak ramah.
Dalam
hati mereka bertanya-tanya, apa maunya orang ini. Namun sebelum pertanyaan itu
terjawab, orang itu berkata. “Sebenarnya kalian akan aku rampok, dan menjual
kalian kepada onderneming untuk dijadikan kuli kontrak di luar Jawa. Tapi ilmu
saya akan berbalik mencelakakan diri saya kalau berani mengganggu para calon
santri Kiai Kholil. Sebab guru saya pernah dikalahkan Kiai Kholil dengan ilmu
putihnya.”
Maka
enam remaja dari Kempek itu kian mantap untuk nyantri ke Bangkalan. Terlebih
lagi baru di perjalanan saja untuk menuju pesantren Kiai Kholil mereka telah
memperoleh karamah dari pemimpin pesantren tersebut.
Pada
waktu Syeikh Kholil masih muda, ada seorang Kiai yang terkenal di daerah
Wilungan, Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya tidak hanya terbatas di
lingkungan Pasuruan, tetapi sudah menyebar ke berbagai daerah lain, termasuk
Madura. Kholil muda yang mendengar ada ulama yang mumpuni itu, terbetik di
hatinya ingin menimba ilmunya. Setelah segala perbekalan dipersiapkan, maka
berangkatlah Kholil muda ke pesantren Abu Darrin dengan harapan dapat segera
bertemu dengan ulama yang dikagumi itu.Tetapi alangkah sedihnya ketika dia
sampai di Pesantren Wilungan, ternyata Kiai Abu Darrin telah meninggal dunia
beberapa hari sebelumnya. Hatinya dirundung duka dengan kepergian Kiai Abu
Darrin.
Namun
karena tekad belajarnya sangat menggelora maka Kholil segera sowan ke makam
Kiai Abu Darrin. Setibanya di makam Abu Darrin, Kholil lalu mengucapkan salam
lalu berkata: bagaimana saya ini Kiai, saya masih ingin berguru pada Kiai,
tetapi Kiai sudah meninggal desah Kholil sambil menangis. Kholil lalu mengambil
sebuah mushaf Al Quran. Kemudian bertawassul dengan membaca Al Quran terus
menerus sampai 41 hari lamanya. Pada hari ke-41 tiba-tiba datanglah Kiai Abu
Darrin dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Kiai Abu Darrin mengajarkan beberapa
ilmunya kepada Kholil. Setelah dia bangun dari tidurnya, lalu Kholil serta
merta dapat menghafal kitab Imriti, Kitab Asmuni dan Alfiyah.
Suatu
hari di bulan Syawal. Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santrinya. Anak-anakku,
sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu
gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok
kita ini.” Kata Syeikh Kholil agak serius. Mendengar tutur guru yang sangat
dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur
Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi
hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditungu-tunggu itu belum
tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren pemuda kurus, tidak
berapa tinggi berkulit kuning langsat sambil menenteng kopor seng.
Sesampainya
di depan pintu rumah SyeikhKholil, lalu mengucap salam. Mendengar salam itu,
bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kiai malah berteriak memanggil
santrinya ; Hey santri semua, ada macan….macan.., ayo kita kepung. Jangan
sampai masuk ke pondok.” Seru Syeikh Kholil bak seorang komandan di medan
perang. Mendengar teriakan Syeikh kontan saja semua santri berhamburan, datang
sambil membawa apa yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul untuk mengepung
pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak kelihatan pucat. Tidak ada
pilihan lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke
Syeikh Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk datang
lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung disongsong dengan
usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya.
Baru
pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara
diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut
yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau. Secara tidak diduga,
tengah malam Syeikh Kholil datang dan membantu membangunkannya. Karuan saja
dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Syeikh Kholil. Setelah
berbasa-basi dengan seribu alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah resmi
diterima sebagai santri Syeikh Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab
Hasbullah. Kelak kemudian hari santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal
dengan nama KH. Wahab Hasbullah, seorang Kiai yang sangat alim, jagoan
berdebat, pembentuk komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH Wahab
Hasbullah di mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik kawan maupun
lawan bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Syeikh Kholil.
Dan
diantara karomahnya, pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama Bahar dari
Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak bisa sholat subuh
berjamaah. Ketidak ikutsertaan Bahar sholat subuh berjamaah bukan karena malas,
tetapi disebabkan halangan junub. Semalam Bahar bermimpi tidur dengan seorang
wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar. Sebab wanita itu adalah istri Kiai
Kholil, istri gurunya. Menjelang subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar
sambil membawa sebilah pedang seraya berucap:“Santri kurang ajar.., santri
kurang ajar…..Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah
merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar
itu.
Subuh
itu Bahar memang tidak ikut sholat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang
pintu masjid. Seusai sholat subuh berjamaah, Kiai Kholil menghadapkan wajahnya
kepada semua santri seraya bertanya ; Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?”
Ucap Kiai Kholil nada menyelidik. Semua santri merasa terkejut, tidak menduga
akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri,
mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu
hanyalah Bahar. Kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan
kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil menatap
tajam-tajam kepada bahar seraya berkata ; Bahar, karena kamu tidak hadir sholat
subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang
pesantren dengan petok ini Perintah Kiai Kholil. Petok adalah sejenis pisau
kecil, dipakai menyabit rumput.
Setelah
menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga
bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat
sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang
lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik. Alhamdulillah,
sudah selesai, Kiai Ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati. Kalau begitu,
sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis, Perintah Kiai
kepada Bahar.Sekali lagi santri Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Kiai
Kholil. Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, santri Bahar lalu
disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah tersedia.
Mendengar perintah ini santri Bahar melahap semua buah-buahan yang ada di
nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya berucap ;
Hai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini ucap Kiai Kholil sambil
menunjuk ke arah Bahar. Dengan perasaan senang dan mantap santri Bahar pulang
meninggalkan pesantren Kiai Kholil menuju kampung halamannya.
Memang
benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat isyarat mencuri ilmu Kiai
Kholil itu, menjadi Kiai yang sangat alim, yang memimpin sebuah pondok
pesantren besar di Jawa Timur. Kia beruntung itu bernama Kiai Bahar, seorang
Kiai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di Pondok Pesantren Sido Giri,
Pasuruan, Jawa Timur.
Suatu
hari menjelang sholat magrib. Seperti biasanya Kiai Kholil mengimami jamaah
sholat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil mengimami
sholat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang Madura menyebutnya
Habib. Seusai melaksanakan sholat, Kiai Kholil menemui tamunya, termasuk orang
Arab yang baru datang itu. Sebagai orang Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa
Arab. Habib menghampiri Kiai Kholil seraya berucap ; Kiai, bacaan Al- Fatihah
antum (anda) kurang fasih tegur Habib. Setelah berbasa-basi beberapa saat.
Habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksanakan sholat magrib. Tempat
wudlu ada di sebelah masjid itu. Silahkan ambil wudlu di sana ucap Kiai sambil
menunjukkan arah tempat wudlu.
Baru
saja selesai wudlu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan munculnya macan
tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya, yang fasih untuk
mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun Habib mengucapkan Bahasa
Arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul, namun macan itu tidak pergi juga.
Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat wudlu Kiai Kholil datang menghampiri.
Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Kiai Kholil
mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang
mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya kurang fasih itu,
macan tutul bergegas menjauh. Dengan kejadian ini, Habib paham bahwa sebetulnya
Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan
bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan
makna dalam ungkapan itu.
Suatu
Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat dengan seorang ulama, manakah
pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maliki yaumiddin’, maliki-nya dibaca
‘maaliki’ (dengan memakai alif setelah mim), ataukah ‘maliki’ (tanpa
alif).Setelah berdebat tidak ada titik temu. Akhirnya sepakat untuk sama-sama
datang ke Kiyahi Keramat; Kiyahi Kholil bangkalan.
Ketika
itu Kiyahi yang jadi maha guru para kiyahi pulau Jawa itu sedang duduk didalam
mushala, saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke Mushola sontak saja kiyahi
Kholil berteriak. Maaliki yaumiddin ya Habib, Maaliki yaumiddin Habib, teriak
Kiyahi Kholil bangkalan menyambut kedatangan Habib Jindan.
Tentu saja dengan ucapan selamat datang yang aneh itu, sang Habib tak perlu
bersusah payah menceritakan soal sengketa Maliki yaumiddin ataukah maaliki
yaumiddin itu. Demikian cerita Habib Lutfi bin Yahya ketika menjelaskan
perbendaan pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada Tafsir Thabari.
Suatu
hari Kiai Kholil berjalan ke arah selatan Bangkalan. Beberapa santri
menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi,
tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah melihat tanah di
hadapannya, dengan serta merta Kiai Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah.
Dari arah lobang bekas tancapan Kiai Kholil, memancarlah sumber air yang sangat
jernih. Semakin lama semakin besar. Bahkan karena terus membesar, sumber air
tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Kolam
yang bersejarah itu sampai sekarang masih ada. Orang Madura menamakannya Kolla
Al-Asror Langgundi. Letaknya sekitar 1 km sebelah selatan kompleks pemakaman
Kiai Kholil Bangkalan.
Di
Bangkalan Madura, hidup sepasang suami-isteri yang cukup bahagia. Pada suatu
hari, sang suami berkata kepada isterinya. “Bu, saya ingin sekali sowan
(berkunjung) ke Kyai Kholil,” katanya pada suatu pagi. “Itu bagus sekali Pak, tetapi
apa yang akan kita bawa sebagai oleh-oleh kepada Kyai Kholil, kita tidak
mempunyai apa-apa kecuali sebuah bentul,” jawab isterinya. “Tidak apa-apa,
bentul itu saja yang kita bawa. Asalkan kita ikhlas, Insya Allah akan
diterima,” tegas sang suami meyakinkan isterinya.
Maka
berangkatlah suami isteri tersebut ke Kyai Kholil. Dengan berbekal tawakkal dan
sebuah bentul, mereka yakin akan diterima Kyai Kholil dengan baik. Bentul
adalah makanan sangat sederhana sejenis talas. Sesampainya di kediaman Kyai Kholil
kedatangannya sudah ditunggu. Mereka disambut dengan hangat. “Kyai, saya tidak
membawa apa-apa, hanya sebuah bentul ini yang bisa kami haturkan untuk Kyai.”
ucap sang suami rada malu-malu.
“Wah
kebetulan, saya memang ingin makan bentul,” jawab Kyai Kholil menghibur.
Kemudian Kyai Kholil memanggil beberapa santri dan menyuruhnya untuk merebus
bentul yang baru diterimanya itu. Tak lama setelah itu, santri datang membawa
bentul yang sudah direbus itu. Kyai Kholil kelihatan sangat senang dan suka
terhadap bentul itu, lalu dimakannya sampai habis.
Suami-isteri
yang sowan ke Kyai Kholil itu merasa senang, sebab apa yang dikhawatirkan
selama ini menjadi kegembiraan. Beberapa hari kemudian, suami-isteri itu ingin
sowan kembali ke kyai Kholil. Masih segar di ingatan suami isteri itu akan
kesukaan Kyai Kholil. Kali ini, tidak seperti terdahulu. Mereka membawa
oleh-oleh bentul sebanyak-banyaknya dengan harapan Kyai Kholil sangat senang
menerimanya. Maka berangkatlah suami isteri tersebut ke ulama karismatik itu. Tidak
seperti dahulu, dugaan mereka meleset. Mereka disambut dingin. Begitu juga
dengan oleh-oleh yang banyak itu. Kyai Kholil tidak menerima oleh-olehnya dan
disuruh bawa pulang kembali.
Pada
saat mereka pulang disadarinya apa yang telah mereka lakukan selama ini.
Ternyata, oleh-oleh bentul yang pertama diniatkan semata-mata karena keikhlasan
dan tawakkal kepada Allah, sedangkan sowan yang kedua tidak dilanda ikhlas,
tetapi rasa pamrih. Mereka meyakini atas kekuatannya sendiri dan merasa dirinya
mampu membawa oleh-oleh kepada kyai. Dan itu sangat tidak disukai Kyai Kholil.
Suatu
hari Kyai Kholil kedatangan tiga tamu yang menghadap secara bersamaan. Sang
kyai bertanya kepada tamu yang pertama: “Sampeyan ada keperluan apa?” “Saya
pedagang, Kyai. Tetapi hasil tidak didapat, malah rugi terus-menerus,” ucap
tamu pertama. Beberapa saat Kyai Kholil menjawab, “Jika kamu ingin berhasil
dalam berdagang, perbanyak baca istighfar,” pesan kyai mantap. Kemudian kyai
bertanya kepada tamu kedua:“Sampeyan ada keperluan apa?” “Saya sudah
berkeluarga selama 18 tahun, tapi sampai saat ini masih belum diberi
keturunan,” kata tamu kedua. Setelah memandang kepada tamunya itu, Kyai Kholil
menjawab, “Jika kamu ingin punya keturunan, perbanyak baca istighfar,” tandas
kyai.
Kini,
tiba giliran pada tamu yang ketiga. Kyai juga bertanya, “Sampeyan ada keperluan
apa?” “Saya usaha tani, Kyai. Namun, makin hari hutang saya makin banyak,
sehingga tak mampu membayarnya, ” ucap tamu yang ketiga, dengan raut muka
serius. “Jika kamu ingin berhasil dan mampu melunasi hutangmu, perbanyak baca
istighfar,” pesan kyai kepada tamu yang terakhir.
Berapa
murid Kyai Kholil yang melihat peristiwa itu merasa heran. Masalah yang
berbeda, tapi dengan jawaban yang sama, resep yang sama, yaitu menyuruh
memperbanyak membaca istighfar.
Kyai
Kholil mengetahui keheranan para santri. Setelah tamunya pulang, maka
dipanggillah para santri yang penuh tanda tanya itu. Lalu, Kyai Kholil
membacakan al-Qur’an Surat Nuh ayat 10-12.
Mendengar
jawaban kyai ini, para santri mengerti bahwa jawaban itu memang merupakan janji
Allah bagi siapa yang memperbanyak baca istighfar. Memang benar. Tak lama
setelah kejadian itu, ketiga tamunya semuanya berhasil apa yang dihajatkan.
Karomah
lain KH. Kholil adalah pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering
mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling.
Begitu peristiwa itu terus menerus. Akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi,
setelah bermusuyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Kiai Kholil. Sesampainya
di rumah Kiai Kholil, sebagaimana biasanya Kiai sedang mengajarkan kitab nahwu
Kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.
“Assalamu’alaikum,
Kiai,” ucap salam para petani serentak. “Wa’alaikum salam wr.wb., “ Jawab Kiai
Kholil. Melihat banyaknya petani yang datang. Kiai bertanya : “Sampean ada
keperluan, ya?” “Benar, Kiai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri
maling, kami mohon kepada Kiai penangkalnya.” Kata petani dengan nada memohon
penuh harap. Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kiai kebetulan sampai pada
kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta merta Kiai
Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”. “Ya.., Karena
pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai penangkal.”
Seru Kiai dengan tegas dan mantap. “Sudah, pak Kiai?” Ujar para petani dengan
nada ragu dan tanda Tanya. “Ya sudah.” Jawab Kiai Kholil menandaskan.
Mereka
puas mendapatkan penangkal dari Kiai Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka
masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Kiai Kholil. Keesokan
harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah masing-masing.
Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri
timun berdiri terus menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling
timun yang selama ini merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya
penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua
upaya telah dilakukan, namun hasilnya sis-sia. Semua maling tetap berdiri
dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak.
Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan wakil
petani untuk sowan ke Kiai Kholil lagi. Tiba di kediaman Kiai Kholil, utusan
itu diberi obat penangkal.
Begitu
obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti
sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri
lagi di ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk pencurian. Maka sejak saat
itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa
terima kasih kepada Kiai kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu
timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri
di pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok
pesantren dipenuhi dengan timun.
Karomah
lain Kyai Kholil terjadi pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu,
satu-satunya angkutan menuju Makkah, semua penumpang calon haji naik ke kapal
dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya: “Pak,
tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” ucap istrinya dengan memelas.
“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari
anggur,” jawab suaminya sambil bergegas di luar kapal. Setelah suaminya mencari
anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak ditemui penjual anggur
seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya
tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa
gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia
segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya
setelah sampai ke ajungan kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh.
Sedih
sekali melihat kenyataan ini. Duduk termenung tidak tahu apa yang mesti
diperbuat. Disaat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki
datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat: “Datanglah kamu kepada Kiai
Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu !” ucapnya dengan
tenang. “Kiai Kholil?” pikirnya. “Siapa dia, kenapa harus kesana, bisakah dia
menolong ketinggalan saya dari kapal?” begitu pertanyaan itu berputar-putar di
benaknya. “Segeralah ke Kiai kholil minta tolong padanya agar membantu
kesulitan yang kamu alami, insya Allah.” Lanjut orang itu menutup pembiocaraan.
Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan.
Setibanya di kediaman Kiai Kholil, langsung disambut dan ditanya : “Ada
keperluan apa?” Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya
mulai awal hingga datang ke Kiai Kholil.
Tiba-tiba
Kiai berkata : “Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana
pergi!” Lalu suami itu kembai dengan tangan hampa. Sesampainya di pelabuhan
sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Kiai
Kholil lalu bertanya: ”Bagaimana? Sudah bertemu Kiai Kholil ?” “Sudah, tapi
saya disuruh ke petugas pelabuhan” katanya dengan nada putus asa. “Kembali
lagi, temui Kiai Kholil !” ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu.
Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Kiai Kholil. Begitu
dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ke tiga kalinya, Kiai Kholil
berucap, “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu
sampeyan.” “Terima kasih Kiai,” kata sang suami melihat secercah harapan. “Tapi
ada syaratnya.” Ucap Kiai Kholil. “Saya akan penuhi semua syaratnya.” Jawab
orang itu dengan sungguh-sungguh. Lalu Kiai berpesan: “Setelah ini, kejadian
apapun yang dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang lain,
kecuali saya sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” pesan dan tanya Kiai
seraya menatap tajam. “Sanggup, Kiai, “ jawabnya spontan. “Kalau begitu ambil
dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Kiai Kholil. Lalu sang
suami melaksanakan perintah Kiai Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit
berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di
atas kapal lalu yang sedang berjalan.
Takjub
heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya.
Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi,
dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di salah satu
ruang kapal. “Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali” dengan senyum
penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang dari arah
bawah kapal. Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat
sekali yang baru kali ini dialami selam hidupnya. Terbayang wajah Kiai Kholil.
Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang alalu, sebenarnya dia baru saja
berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.
Beliau
berangkat ke Makkah dalam tahun 1859, ketika berusia 24 tahun. Sepanjang
perjalanan ke Makkah dan semasa di sana, beliau lebih gemar berpuasa dan
melakukan riyadhah kerohanian. Dikisahkan bahawa selama di Makkah, kebiasaannya
beliau hanya makan kulit tembikai berbanding makanan lain. Setelah pulang ke tanahairnya,
beliau mendirikan pesantren di Desa Cengkebuan. Pesantren ini akhirnya beliau
serahkan kepada menantunya Kiyai Muntaha, dan beliau sendiri membuka sebuah
lagi pesantren di Desa Kademangan, Bangkalan. Antara ulama yang menjadi santri
beliau adalah Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiyai Wahhab Hasbullah, Kiyai
Ahmad Qusyairi dan Kiyai Bisri Syansuri.
Kiyai
Kholil selain terkenal sebagai ulama, juga dikenali sebagai seorang waliyullah
yang mempunyai berbagai karamah dan kasyaf. Murid beliau, Kiyai Ahmad Qusyairi
bin Shiddiq dalam karyanya “al-Wasiilatul Hariyyah” mensifatkan gurunya ini
sebagai ” beliau yang dalam ilmu nahwunya seperti Sibawaih, dalam ilmu fiqh
seperti Imam an-Nawawi dan dari segi banyak kasyaf dan karamah seperti
al-Quthub al-Jilani.” Maka tidak heran, makamnya sehingga kini diziarahi ramai
untuk menjalankan sunnah ziarah kubur dan ngalap berkat. Beliau meninggal dunia
pada 29 Ramadhan 1343H dalam usia yang lanjut 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341
Hijrah/14 Mei 1923 Masehi. Mari kita sampaikan untuknya…. AL
FATIHAH…………..