SYEKH AHMAD ASRORI
AL-ISHAQI
Mursyid tarekat
qodiriyyah wannaqsyabandiyyah al-utsmaniyyah
Beliau
masih muda. Namun, Surabaya dan Jawa Timur bahkan seluruh Jawa hingga Jakarta
dan Asia Tenggara seperti dalam genggaman pengaruhnya, itulah KH. Ahmad Asrori
Al Ishaqi putra keenam KH. Utsman asal Kedinding Lor Surabaya Jawa Timur. Minggu
pagi akhir bulan Pebruari tahun 2006 lalu kawasan Lapangan Mataram Kota
Pekalongan yang biasanya ramai oleh masyarakat yang ingin berolah raga ringan,
berbelanja dan sekedar jalan jalan untuk menikmati udara pagi, hari itu tampak
lain dari hari-hari minggu sebelumnya. Puluhan keamanan sejak subuh disibukkan
oleh kehadiran puluhan ribu masyarakat berbaju putih putih dari berbagai
penjuru kota di Jawa untuk mengatur arus lalu lintas. Saking padatnya, Jalan
Wilis dan Sriwijaya merupakan jalur utama jurusan Semarang Jakarta harus
ditutup total selama 24 jam dan disulap menjadi area parkir kendaraan roda dua
dan empat atau lebih. Bahkan malam sebelumnya puluhan rombongan bis bis
pariwisata dan reguler serta ratusan kendaraan pribadi sudah memasuki wilayah
Kota Pekalongan yang terkenal dengan industri batiknya menuju satu titik, yakni
Lapangan Mataram. Ada apa gerangan ?
Di Lapangan Mataram inilah tidak kurang dari lima
puluh ribu kaum muslimin dan muslimat, dari anak-anak hingga orang dewasa dari
berbagai penjuru tanah air secara bersama sama melakukan kegiatan istighotsah,
manaqib Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro RHa dan tahlil akbar dalam rangka
“Haflah dzikir, Maulidurrasul dan Haul Akbar Ummil Mukminin Sayyidatina Siti
Khodijah Al Kubro RHa.” yang dipimpin langsung oleh ulama kharismatik penyejuk
ummat asal Kedinding Lor, Semampir, Surabaya Jawa Timur, yakni KH. Ahmad Asrori
Utsman Al Ishaqi.
Suara gema istighotsah dan tahlil akbar mengguncang
langit Kota Pekalongan di pagi hari menembus cakrawala hingga radius dua
kilometer. Kota Pekalongan yang biasanya ramai oleh hiruk pikuk masyarakat
sibuk dengan urusannya masing masing, hari itu ikut larut dalam gema
istighotsah dan tahlil. Apalagi kegiatan ini disiarkan langsung oleh tiga radio
yang sudah punya nama di Kota Pekalongan dan Batang, yakni Radio Amarta FM,
Radio Abirawa Top FM dan Radio PTDI Walisongo, maka lengkaplah suasana di pagi
hari yang cerah dengan busana putih putih di atas hamparan rumput hijau dengan
menyebut asma Allah hingga ribuan kali sampai menggetarkan kalbu yang gersang
oleh kondisi zaman.
“Kegiatan bertaraf internasional ini diselenggarakan
tidak hanya semata-mata mendo’akan istri Rasulullah SAW Ummil Mukminin
Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro saja, akan tetapi juga mendoa’akan sesepuh
para ulama, syuhada’ dan sholihin serta ummat Islam yang telah ikut berjasa
dalam pengembangan agama Islam di wilayah Kota Pekalongan dan sekitarnya”, ujar
Ketua Umum Pengurus Pusat Jama’ah Al Khidmah H. Hasanuddin, SH. kepada NUBatik
Online. Maka, tidaklah mengherankan jika masyarakat begitu antusias mengikuti
acara yang baru pertama kali digelar di Kota Pekalongan.
Bayangkan saja, lapangan Mataram yang cukup luas itu
disulap oleh panitia menjadi arena berdzikir bak tenda besar. Seluruh lapangan
tertutup rapat oleh tenda tidak kurang dari 250 set layos (tratag) dan di
dalamnya membentang panggung raksasa ukuran 50 x 16 meter persegi dengan
dekorasi yang cukup mewah. Untuk persiapannya saja, memerlukan waktu tiga hari
memasangnya dan pihak panitia mendatangkan secara khusus panggung dan dekorasi
dari Ponpes Al Fithrah Semarang.
Bahkan untuk mengcover arena agar seluruh peserta
dzikir dapat mendengar dengan baik, pihak panitia mendatangkan secara khusus
sound system berkekuatan 30 ribu watt dari Malang Jawa Timur yang diangkut satu
truk tronton, di tambah dengan 6 set sound system lokal dengan kekuatan masing
masing 3 ribu watt, sehingga peserta / pengunjung yang hadir dapat mengikuti
acara demi acara dengan baik dan khusu’, saking besarnya kekuatan sound system,
acara tersebut dapat didengar hingga radius 2 kilometer.
Mayoritas jama’ah
yang hadir memang datang dari seluruh pelosok Jawa Tengah. “Kami sengaja hadir
di majelis ini, karena pada tahun ini hanya diselenggarakan di Pekalongan”,
ujar Mukminin asal Jepara. Dirinya membawa beberapa bis untuk mengangkut
rombongan asal kota ukir Jepara. “Kegiatan tahun kemarin di Kabupaten Demak
kami juga membawa rombongan lebih besar, akan tetapi karena kali ini agak jauh
maka tidak banyak yang kami bawa” kata pemuda yang masih lajang ini. Hal senada
juga diungkapkan Rohman pimpinan rombongan asal Grobogan dan Nur Kholis asal
Salatiga. Selain Jawa Tengah, tidak sedikit pula rombongan berasal dari Jawa
Timur, Madura, Jawa Barat dan Jakarta. Hal ini terlihat dari kendaraan berplat
nomor AG, L, W, N, B dan lain lain. Bahkan juga hadir puluhan jama’ah asal
mancanegara, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan Timur Tengah. Rumah-rumah
penduduk dan gedung-gedung di sekitar Lapangan Mataram seperti Gedung Wanita,
Kantor MUI, Balai Kelurahan Podosugih, Balai Kelurahan Bendan, Rumah Singgah Dupan
Mall, Gedung Balai Latihan Kerja (BLK), serambi-serambi Masjid, Musholla hingga
ruko berubah fungsi menjadi tempat penginapan. “Saya setiap pagi selalu
mendengarkan pengajian Kiai Asrori di Amarta FM, materinya sangat disukai
masyarakat dan menyejukkan hati, jadi sangat wajar jika masyarakat sekitar sini
dengan antusias rumahnya menjadi tempat penginapan”, kata Ibu Romlah asal
Podosugih Kota Pekalongan. Bahkan Paguyuban warung makan Lamongan yang banyak
tersebar di kawasan jalur Pantura secara ikhlas menyediakan makanan dan minuman
gratis untuk para tetamu yang telah hadir pada malam sebelumnya.
Uswah
khasanah
Kalau ada
pertanyaan, faktor apa yang mempersatukan mereka, bahkan rela berdesak-desakan
selama berjam-jam ? jawabannya ada dua, yaitu Thariqah dan sosok Kiyai Asrori
sendiri selaku Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah
(dinisbatkan kepada Kiai Utsman). Konon, almarhum KH. Utsman adalah salah satu
murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur.
Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai
Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977),
beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.
Maka,
jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di
samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat
estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum
akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai
Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah yang hadir
semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih
membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada
waktu itu.
Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara
perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik
warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih.
Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya
bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai
Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan
menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”,
ujarnya.
Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai
Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri
dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan
beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar,
penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta
bangunan masjid yang cukup besar.
Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi
karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan
tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi
terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi
telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama.
Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal,
melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan
thariqah.
Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak
asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu
dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu
dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu.
Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar,
bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.
Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa
mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok
pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang
badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama
“orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya
rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri
kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah
tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari
kalangan sipil maupun militer.
Keturunan
Rasulullah ke-38
Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan
hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori
putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan
Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13
orang. Berikut silsilahnya :
Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati –
Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki
Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo –
Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri –
Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam –
Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul
Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad –
Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An
Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal
Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.
Baiat
thariqah
Kini, ulama yang usianya belum genap lima puluh
tahun itu menjadi magnet tersendiri bagi sebagian kaum, khususnya ahli
thariqah. Karena kesibukannya melakukan pembinaan jama’ah yang tersebar di
seluruh pelosok tanah air hingga mancanegara. Kiai Rori menyediakan waktu
khusus buat para tamu, yakni tiap hari Ahad. Sedangkan untuk pembaiatan, baik
bagi jama’ah baru maupun lama dilakukan seminggu sekali. (ada tiga macam
pembaiatan, yaitu Baiat Bihusnidzdzan, bagi tingkat pemula, Baiat Bilbarokah,
tingkat menengah dan Baiat Bittarbiyah, tingkat tinggi).
Untuk menapaki level level itu, tiap jama’ah
diwajibkan dzikir rutin yang harus diamalkan oleh murid yang sudah berbaiat
berupa dzikir jahri (dengan lisan) sebanyak 160 kali dan dzikir khafi (dalam
hati) sebanyak 1000 kali tiap usai sholat. Kemudian ada dzikir mingguan berupa
khususi yang umumnya dilakukan jama’ah per wilayah seperti kecamatan.
Thariqah yang diajarkan Kiai Rori memang dirasakan
berbeda dengan thariqah atau mursyid mursyid lainnya pada umumnya. Jika
kebanyakan para mursyid setelah membaiat kepada murid baru, untuk amaliyah
sehari-hari diserahkan kepada murid yang bersangkutan di tempat masing-masing
untuk pengamalannya, tidak demikian dengan Kiai Rori. Beliau sebagai Mursyid
Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah memiliki tanggung jawab
besar, yakni tidak sekedar membaiat kepada murid baru kemudian tugasnya
selesai, akan tetapi beliau secara terus-menerus melakukan pembinaan secara
rutin melalui majelis khususi mingguan, pengajian rutin bulanan setiap Ahad
awal bulan hijriyah dan kunjungan rutin ke berbagai daerah.
Untuk membina jama’ah yang telah melakukan baiat,
khususnya di wilayah Jawa Tengah, bahkan Kiai Rori telah menggunakan media
elektronik yaitu Radio Siaran untuk penyebaran dakwahnya, sehingga murid
muridnya tidak lagi akan merasa kehilangan kendali. Ada lima radio di Jawa
Tengah yang dimilikinya setiap pagi, siang dan malam selalu memutar ulang
dakwahnya Kiai Rori, yakni Radio Rasika FM dan “W” FM berada di Semarang, Radio
Citra FM di Kendal, Radio Amarta FM di Pekalongan dan Radio Suara Tegal berada
di Slawi.
Radio radio inilah setiap harinya mengumandangkan
dakwahnya yang sangat khas dan disukai oleh banyak kalangan, meski mereka tidak
atau belum berbaiat, bahkan ketemu saja belum pernah, toh tidak ada halangan
baginya untuk menikmati suara merdu yang selalu mengumandang lewat istighotsah
di awal dan tutup siaran radio. Kemudian juga dapat didengar lewat manaqib
rutin mingguan dan bulanan serta acara-acara khusus seperti Haul Akbar di Kota
Pekalongan beberapa waktu lalu disiarkan langsung oleh tiga radio ternama di
Kota Pekalongan dan Batang.
Dalam setiap memberikan siraman rohani, Kiai Rori
menggunakan rujukan Kitab Nashaihul Ibad karya Syekh Nawawi Al Bantani, Al
Hikam karya Imam Ibnu Atha’illah dan lain lain. Selain pengajian yang lebih
banyak mengupas soal tasawuf, Kiai Rori juga sering menyisipkan masalah fiqih
sebagai materi penunjang. Seorang ulama asal Ploso Kediri Jawa Timur, KH. Nurul
Huda pernah bertutur, sulit mencari ulama yang cara penyampaiannya sangat mudah
dipahami oleh semua kalangan dan do’anya sanggup menggetarkan hati seperti Kiai
Asrori. Hal senada diakui oleh KH. Abdul Ghofur seorang ulama asal Pekalongan,
Kiai Asrori seorang figur yang belum ada tandingnya, baik ketokohannya maupun
kedalaman ilmunya.
Jama’ah
Al Khidmah sebagai wadah
Sadar bahwa manusia tidak akan hidup di dunia
selamanya, Kiai Asrori telah berfikir jauh ke depan untuk keberlangsungan
pembinaan jama’ah yang sudah jutaan jumlahnya. Perkembangan jumlah murid cukup
menggembirakan ini sekaligus mengundang kekawatiran. Apa pasal ? banyaknya
murid yang berbaiat di Thariqah Qadiriyah wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah
menunjukkan bahwa ajaran ini memiliki daya tarik tersendiri. Apalagi murid murid
yang telah berbaiat terus dibina melalui berbagai majelis, sehingga
amalan-amalan dari sang guru tetap terpelihara.
Di sisi lain banyaknya murid juga mengundang
kekhawatiran sang guru. Karena mereka tidak terurus dan terorganisir dengan
baik, sehingga pembinaannya pun kurang termonitor. Kondisi inilah yang
mendorong beberapa murid senior memiliki gagasan untuk perlunya membentuk wadah
di samping dorongan yang cukup kuat dari Kiyai Asrori sendiri, sehingga
diharapkan dengan terbentuknya wadah bagi para murid-muridnya dapat lebih mudah
melaksanakan amalan amalan dari gurunya.
Maka dibentuklah wadah bernama “Jama’ah Al Khidmah”.
Organisasi ini resmi dideklarasikan tanggal 25 Desember 2005 kemarin di
Semarang Jawa Tengah, dengan kegiatan utamanya ialah menyelenggarakan Majelis
Dzikir, Majelis Khotmil Al Qur’an, Maulid dan Manaqib serta kirim do’a kepada
orang tua dan guru-gurunya. Kemudian menyelenggarakan Majelis Sholat Malam,
Majelis Taklim, Majelis Lamaran, Majelis Akad Nikah, Majelis Tingkepan, Majelis
Memberi nama anak dan lain lain.
H. Hasanuddin menjelaskan, organisasi ini sengaja
dibentuk bukan karena latah apalagi berorientasi ke politik praktis, akan
tetapi semata mata agar pembinaan jama’ah lebih terarah dan teratur. Siapapun
bisa menjadi anggotanya, baik yang sudah baiat atau yang belum baiat. Seperti
kegiatan kegiatan Haul Akbar di Kota Pekalongan tempo hari merupakan salah satu
bukti bahwa kegiatan Jama’ah Al Khidmah banyak diminati oleh berbagai kalangan
khususnya di wilayah Pekalongan dan sekitarnya.
Meskipun di wilayah ini belum banyak yang menyatakan
baiat ke Kiai Asrori, ternyata magnet kiai yang berpenampilan kalem dan
sederhana ini dapat menghadirkan puluhan ribu ummat Islam untuk duduk bersimpuh
bersama-sama dengan para kiyai, ulama, habaib dan ratusan undangan lainnya
untuk bersama-sama melakukan dzikir dan mendoa’akan istri Rasulullah Ummil
Mukminin Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro yang kini telah mulai banyak
dilupakan ummat Islam.
Acara ini memang tergolong khusus, pasalnya kegiatan
Haul Sayyidatina Siti Khodijah tidak lazim dilaksanakan oleh ummat Islam.
sehingga banyak yang tidak menyangka kegiatan ini akan mendapat perhatian yang
cukup besar. Bahkan Habib Umar Bin Salim cucu Rasulullah SAW asal Hadramaut
Yaman Yordania yang hadir dalam secara khusus di majelis dzikir itu mengatakan,
sudah selayaknya ummat Islam mendoakan istri Rasulullah, karena beliau
mempunyai peranan yang sangat penting dan banyak jasanya membantu Rasulullah
dalam pengembangan ajaran Islam. ”Kami siap hadir setiap majelis ini digelar”,
ujarnya usai acara. [mu’is]
SYEKH
AHMAD ASRORI AL-ISHAQI PART II
KH. Ahmad Asrori Al-ishaqi merupakan putera dari
Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding
Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya.
Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang
diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy
dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih
keturunan Sunan Giri. Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal
sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas;
cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di
belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai
Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori
meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.
Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda
ternyata bukan perkara mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui
Kiai Asrori sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para
penolak itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju
Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti
bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa
Kiai Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor,
sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya
menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas
Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang
inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial manapun. Meski dihadiri
tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang
diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa
muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah
sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan
mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti
organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka
jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura
dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori
terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih
dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke
suatu posisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan.
Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa.
Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana.
Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati
pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah
menunjukkan keistimewaan-keistimewaan. Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di
Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia
malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada
pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak
macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat
mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din
karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang
diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering
disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai
Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam.
Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman
pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.”
Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan
kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif
muda, yaitu 30 tahun. Wassalam
KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi merupakan putera dari
Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding
Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya.
Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang
diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy
dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih
keturunan Sunan Giri. Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan
hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori
putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan
Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13
orang.
Berikut
silsilahnya :
Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati –
Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki
Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo –
Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri –
Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam –
Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul
Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad –
Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An
Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal
Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.
Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal
sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas;
cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di
belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai
Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori
meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.
Konon, almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim
(ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid
bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian
sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan
sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.
Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas
thariqah di kota metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang.
Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada
putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas
ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori
inilah jama’ah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah
itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor
yang masih berupa tambak pada waktu itu.
Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara
perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik
warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih.
Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya
bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai
Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan
menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”,
ujarnya. Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan
Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai
pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa
bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan
tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta bangunan
masjid yang cukup besar. Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena
kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan
tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi
terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi
telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis
ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak
awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing
dengan thariqah.
Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak
asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu
dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu
dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu.
Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar,
bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu. Tanda tanda
menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk
menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala
itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut
panjang memiliki geng bernama “orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya
malam hari. Jama’ahnya rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian
diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih
muda, Kiai Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak,
termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun militer.
Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda
ternyata bukan perkara mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui
Kiai Asrori sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para
penolak itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju
Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti
bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa
Kiai Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor,
sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya
menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas
Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang
inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial manapun.
Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat
negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam
suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori
seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang
ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit
luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini
diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di
Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya
yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia
dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia
bayangkan. Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam
dan kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun
seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut
keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan
keistimewaan-keistimewaan.
Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso
satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah
tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan
pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan
akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat
mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din
karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang
diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering
disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai
Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam.
Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman
pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.”
Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan
kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif
muda, 30 tahun. Telah meninggal dunia pada hari ini 26 Sya’ban 1430 H./18
Agustus 2009 pukul 02:20 WIB, KH. ASRORI BIN UTSMAN AL-ISHAQI, Kedinding
Surabaya Beliau adalah mursyid Thoriqoh Qodiriyah & Naqsabandiyyah saat
ini, semoga Allah senantiasa mengampuni semua dosanya.